Rabu, 30 Desember 2009

Sebuah Obor Kehidupan

Disuatu dusun dikaki sebuah gunung sedang diadakan Misa Natal, banyak sekali yang datang mengikuti misa yang waktu itu menggunakan adat jawa. Semua larut dan hanyut dalam misa tersebut sampai akhirnya merekapun pulang ke rumah masing-masing. Selesai misa serombongan yang terdiri dari bapak, ibu dan kedua anaknya meninggalkan misa tersebut dan kembali ke rumahnya. Perjalanan kembali yang melelahkan, maklum rumahnya berada di atas bukit. Terlihat wajah-wajah keceriaan di keluarga tersebut, seakan menikmati perjalanan yang ada. Senda gurau serta ucapan kata-kata diantara mereka sepanjang perjalanan.
"Pak, gelap dan licin ya jalan yang ada. Coba banyak lampu seperti di misa tadi pasti lebih enak." kata anaknya yang besar.
"Ya beginilah le, namanya juga jalan desa habis hujan lagi. Makanya hati-hati jalannya jangan sampai jatuh ya. Oya kita istirahat bentar ya bune, sambil ngobrol-ngobrol. Kasihan anak-anak."kata sang bapak. Dan merekapun beristirahat di sebuah gubuk di tepi jalan.
"Coba le kedua anakku, perhatikan dan rasakan apabila obor ini bapak matikan." katanya sambil mematikan obor sehingga suasana menjadi gelap gulita, karena tiada cahaya satupun bahkan bintang-bintang dilangit seolah malu dan enggan memancarkan sinarnya. Setelah beberapa lamanya, maka dinyalakannya kembali obor tersebut.
"Ndak enak pak, gelap jadi ndak bisa ngapa-ngapain.Takut ."kata anak yang terkecil
"Bener pak, ntar kalau ada ular atau orang jahat jadi ndak tahu pak." kata anak yang besar.

Sang bapak dan ibu tersenyum-senyum mendengar ucapan buah hatinya, kemudian sang bapak menanggapinya,"Benar ngger anakku berdua, memang tidak enak berada dalam kegelapan. Namun coba pahami lagi betapa disaat gelap diri kalian akan lebih hati-hati , kalian gunakan pendengaran dan perasaan kalian untuk mengamati keadaan sekitar karena indera penglihatan kalian tidak  bisa digunakan dengan sempurna. Lebih waspada akan bahaya yang datang. Di saat berada dalam kegelapan seakan kalian membuat benteng yang kuat untuk menghadapi segala gangguan yang mungkin datang. Sebaliknya di saat obor bapak nyalakan, tentu kalian akan lebih bisa melihat dan mengamati keadaan sekitar dengan baik. Segenap indra yang kalian gunakan tentu bisa kalian gunakan, bahkan tidak jarang kalian manjakan hingga terlena. Tidak jarang segenap indramu terbuai kenikmatan yang ada, hingga terjebak dalam keinginan , keakuan yang makin lama merasuki dirimu. Padahal kegelapan dan terang sebenarnya sama saja, seharusnya kalian tetap dalam kewaspadaan yang sama, dengan benteng yang sama kuat pula.Tidak seharusnya semua itu menjadi alasan pembenaran sesat."

"Seperti obor ini , dia akan terus menyala selama ada minyak, sumbu, dan ada yang menyalakan. Dia selalu menyala, hingga akhirnya ada yang mematikan dan minyak serta sumbunya habis. Dalam diri kalian juga ada obor yang akan selalu menyala menerangi perjalanan kalian. Di saat dalam kegelapan sebenarnya obor kalian akan senantiasa menerangi kalian agar selalu terjaga, dan  syukur kalau bisa menerangi sesama kalian.  Obor kehidupan yang diberikan DIA .Disaat kalian dalam terangnya hidup  sebenarnya cahaya obor senantiasa menerangi pula, namun seringkali justru disaat itulah biasanya kalian terlena karena sudah menemukan dan menikmati terang dari sekitar kalian dan meniadakan obor yang terus menyala ,  terlalu asyik menikmati cahaya obor penerang sekitar dan melupakan obor didirinya hingga mungkin nyala obor itu akan semakin mengecil kalau kalian tidak menyadarinya dan mengisinya kembali. Seharusnya di dalam terang terus kau jaga nyala obormu, teruslah kau jaga nyalanya jangan sampai padam, saling memberi terang, tidak disilaukan oleh cahaya-cahaya obor disekitarmu. Bukankah lebih indah anakku." kata sang bapak.

"Ibu hanya sedikit menambahkan anakku, seperti kata bapakmu. Dengan kalian sadari, rasakan, jaga  obor  hidup dari DIA yang ada didalam diri kalian mudah-mudahan kalian bisa melalui perjalanan terang dan gelapnya jalan dengan porsi yang sama, menerima segalanya dengan apa adanya, slalu kalian syukuri yang kalian terima. Nikmati hidup kalian dengan selalu waspada dan ingat sama DIA sing gawe urip." kata sang ibu.

Setelah segala penat hilang, merekapun meneruskan berjalan, diterangi obor yang mereka pegang. Tanjakkan, tikungan, turunan dilalui dengan  penuh rasa syukur, tiada beban seakan alam semesta menyatu dengan mereka untuk melangkah. Memberikan nyala-nyala obor untuk kehidupan ini.


Sebuah catatan kisah keluarga, yang berfikir dengan cara-cara sederhana, pola-pola sederhana. Mencoba menggali hidup dalam kederhanaan. Sekedar menjalani hidup untuk merangkai kisah hidup di dalam sebuah rumah. Rumah kita yang sebenarnya....Salam Cahaya

Kamis, 17 Desember 2009

Celoteh Sang Kakek

Di sebuah gubuk di tengah areal persawahan tampak seorang kakek yang sedang berisitirahat ditemani seorang cucu laki-laki yang selalu menyusul ke sawah sehabis pulang sekolah. Diusianya yang masih muda 8 tahun, dirinya telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Setiap hari dirinya  hanya bersama kakek dan neneknya. Terkadang dirinya  selalu bertanya kenapa  sang ayah dan ibunya meninggalkan dirinya seorang diri. Sang kakek dan nenek hanya mampu menahan nafas sambil sesekali diberikan jawaban yang mungkin mampu membuat sang cucu lebih tegar.

Seperti pada saat tengah hari itu, terjadi perbincangan antara sang kakek dan cucunya yang sepertinya sedang membicarakan sesuatu.
"Kek, kenapa aku harus ada dan kenapa aku harus sendirian ?" tanya sang cucu kepada kakeknya

Sang kakek hanya bisa tersenyum, sambil menahan nafasnya dia menjawab pertanyaan cucunya, "Cucuku kenapa kamu menanyakan lagi hal itu? Ngger cucuku, satu hal yang pasti kamu ada karena kamu harus ada, ingat cu kamu tidak sendirian . Ada kakek ada nenek, ada teman-temanmu juga tho le. Coba lihat sekelilingmu cu, indah bukan? Coba cermati alam sekitar, kehidupan yang ada di alam sekitar. Mereka juga temanmu, mereka saudara-saudaramu yang senantiasa menemani dan menyertai dirimu." kata sang kakek sambil menghirup rokok klembak menyan yang dilintingnya sambil tersenyum ke arah cucunya.

"Coba lihat tanaman kacang panjang itu cu, perhatikan dengan sesama betapa tanaman itu tumbuh dengan sulurnya yang mengikuti bambu bergerak keatas seakan-akan bergerak menuju Gusti yang selalu menyinari dirinya. Coba lihat  gemercik air itu , air yang selalu bergerak secara alami mencari tempat yang lebih rendah. Kalaupun dia bergerak ke atas pasti ada tekanan yang menyebabkannya keatas. Dirimu juga seperti aliran air yang terus mengalir, namun jangan terlena dengan aliran air hingga engkau dapat terhanyut dan tenggelam didalamnya. Lihat burung pipit itu le, betapa mereka memakan bulir-bulir padi secukupnya saja. Seperti juga doa yang biasa kamu ucapakan "Gusti, berilah kami rejeki hari ini secukupnya" hendaknya hidupnya juga seperti doa dan burung pipit itu, nikmati anugerah yang kauterima dengan penuh syukur tanpa merasa selalu berkekurangan. Lihat daun-daun pohon itu le, bukankah disamping daun baru tumbuh  daun-daun kering akan berjatuhan ke tanah , berguguran ke tanah. Hal itu tidak bisa ditawar-tawar lagi, sifatnya alami. Begitu juga dengan hidup ini disaat ada kelahiran ada kematian, ada kesusahan tentu ada kegembiraan . Kedua sisi yang  selalu ada dalam hidup dan tidak bisa dilewatkan." sambil klempas-klempus Sang Kakek berhenti sejenak.

"Lihat cu pohon pisang raja itu. Betapa dirinya tidak pernah protes takkala buahnya diambil, tetap saja dia tumbuh dengan tunas-tunas baru dan menghasilkan buah-buah lagi buat sesama yang membutuhkan. Begitu juga dengan dirimu hendaknya kamu belajar untuk menghasilkan buah yang berguna dan memberikan dengan ketulusan bagi sesamamu tanpa pernah mengharapkan imbalan. Coba dengarkan juga suara katak kalau malam hari, bukankah terdengar indah bersaut-sautan mungkin diikuti suara jangkerik. Terasa damai kan cucuku. Coba kalau kalau katak itu bersuara bersamaan dengan satu nada yang sama dan ketukan yang sama pasti akan terasa lain, bukankah perbedaan yang ada akan semakin menambah keindahan. Bukankah kamu dan teman-temanmu juga berbeda, perbedaan yang ada diantara kalian akan semakin menambah keindahan hidup ini. Lihat juga pematang sawah yang barusan kakek bersihkan, bukankah kamu kalau jalan di pematang sawah ini akan hati-hati supaya jangan terpeleset dan tidak jatuh ke sawah. Lihat juga jalan kampung itu, bagaimana saat kamu berjalan disana. Seharusnya saat dia jalan kampung itu kamu juga lebih berhati-hati karena dengan jalan yang rata itu seringkali membuat terlena dan tidak sadar akan bahaya disekitarnya. Seperti juga saat kamu menapak dalam jalan hidup ini, tetaplah selalu untuk tersadar jangan sampai terlena." kata sang kakek.

"Lihat juga gagang cangkul ini, kalau tidak pernah dipakai pasti akan terasa lain ditangan dibandingkan dengan cangkul yang biasa dipakai. Terasa lebih halus, lembut dan tidak membuat telapak tangan sakit. Begitu juga dengan dirimu hendaknya kamu belajar dan mengasah hati dan pikiranmu, pelajari hingga hati dan pikiranmu menjadi semakin halus dan tajam. Lihat juga kaki dan tangan kakek ini, sehabis kena lumpur pasti kakek basuh dengan air dan sabun agak bersih dan bebas dari kuman. Begitu juga dengan raga dan jiwa ini perlu juga untuk dibersihkan dengan bermatiraga, bersihkan kotoran batin dan pikiran saat bermatiraga. Saat kamu membuat pengakuan dosa, pernahkah kamu sadari hingga kamu tidak mengulangi dosa-dosa yang sama? Kalau tidak berhati-hati maka kamu akan terjebak dalam tradisi puasa dan pengakuan dosa yang menurut ajaran agama diwajibkan. Seharusnya semakin kamu sadari dengan bermatiraga dan pengakuan dosa semakin membuat hati dan pikiranmu bersih , semakin hari semakin bertambah bersih seiring perjalanan sang waktu. Semoga seiring jejak-jejak langkah yang terus kaubuat, semakin besar sinar di dirimu yang semakin menyinari kehidupan. Masih banyak pelajaran dari Saudaramu Alam Sekitar yang bisa kau pelajari dan semoga semakin membuat dirimu lebih mencintai alam sekitar dan lebih bijak dalam menggunakannya" lanjut sang kakek

Karena  sudah saatnya pulang, maka Sang kekek mengajak cucunya untuk pulang. Tampak sinar ilahi yang memancar di raut muka kedua makhluk itu. Sinar Ilahi yang selalu memberikan sinarnya di kehidupan ini.

Salam










Jumat, 11 Desember 2009

Sang Penerus

Suatu ketika di sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Ageng  memanggil dua orang muridnya untuk membahas sesuatu yang teramat penting, membicarakan penerus padepokan dikarenakan Ki Ageng ingin menyepi dan melepaskan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniawian. Kedua muridnya , dipanggilnya murid yang tertua Gajah Seto dan murid termuda Rara Wilis. Di hadapan Ki Ageng yang sangat mereka hormati, tampak kedua murid tersebut msih kebingungan dan tidak mengerti akan maksud dari guru mereka, dan Ki Ageng tampaknya bisa mengetahui apa yang sedang berkecamuk di pikiran kedua muridnya hingga akhirnya diapun berkata, "Muridku, Gajah Seto dan Rara Wilis aku tahu apa yang menjadi pertanyaan di diri kalian. Aku sudah mempertimbangkan masak-masak, dan aku melihat kalian berdualah yang kulihat mampu menjadi penerusku kelak. Namun belum saatnya kalian mengetahui alasanku. Sambil menunggu saat itu, aku menyuruh kalian untuk sementara waktu mengembara selama dua belas purnama." kata Ki Ageng, dengan perlahan namun dari getar suara dan sorot matanya tersirat wibawa yang begitu besar.

"Gajah Seto, kamu turuni lereng bukit ini. Kamu bawa perbekalan secukupnya, aku  titipkan air dalam bumbung bambu ini sebagai tanda penyertaanku kepadamu. Bawalah bekal secukupnya, nanti saat kamu temui dusun pertama kamu berhentilah dan tinggalah disitu. Selama dua belas purnama baru kamu kembali kesini dan aku minta dibawakan sesuatu yang paling berharga," kata Sang Guru, kemudian diapun melihat muridnya yang termuda .

"Rara wilis, aku tahu kamu pasti masih kebingungan. Tidak usah hal itu menjadi beban buatku, nanti kembali aku beritahu alasaku. Bawalah bekal secukupnya, aku titipkan air dalam bumbung bambu ini sebagai tanda penyertaanku kepadamu. Kamu naiki perbukitan ini, berjalanlah ke arah barat, hingga kautemukan dusun pertama. Selama dua belas purnama pula kamu tinggal disana dan kembalilah kesini." kata Sang Guru. "Saat mentari memancarkan sinarnya esok hari kalian berangkatlah, doa  restuku selalu menyertai langkah kalian dan ingat ya kedua muridku Gusti akan selalu meyertai kalian. Sekarang istirahat dan persiapkan untuk perjalanan esok hari."

Setelelah itu kedua murid tersebut meminta doa restu dan berpamitan , kembali ke bilik mereka masing-masing. Masih menyisakan pertanyaan besar di  diri mereka. Namun dengan tekad yang bulat keesokan harinya pada saat sang fajar muncul mereka telah meninggalkan pedepokan tersebut.

Hari berganti hari, purnama berganti purnama hingga akhirnya pada purnama ke dua belas kedua murid tersebut kembali. Yang pertama muncul Gajah Seto, dibalik kelelahan tampak dirinya semakin gagah saja . Tampak bawaan yang dibawanya lebih banyak dari saat di berangkat. Selang beberapa lama tampak pula Rara Wilis, terlihat paras mukanya memancarkan sinar-sinar kecantikan yang terbalut senyumnya dan kelelahan dirinya. Dengan berseri-seri di melangkah. Keduanya tampak saling berjabat tangan, bercengkrama melepas kerinduan yang ada di keduanya. Saking asyiknya mereka bercengkrama , tidak disadari oleh mereka berdua Ki Ageng telah lama memperhatikan mereka berdua.

"Selamat datang kedua muridku yang kukasihi, senang rasanya melihat kalian kembali ke padepokan ini dengan keadaan sehat dan kiranya tidak ada satupun yang kurang. Nikmatilah waktu yang ada, lepaskan segala beban yang selama ini kalian pendam. Beristirahatlah karena besok pagi masih ada yang harus kalian kerjakan. Gajah Seto pergilah ke atas gunung esok hari dan kembalilah saat senja, sedangkan Rara Wilis masuklah ke ruangan samadhi dan hanya beloh keluar saat aku memanggilmu. Kita bertemu besok malam sambil kalian ceritakan pengalaman dan apa buah tangan yang kalian bawa untukku." kata Ki Ageng ,kemudian dia meninggalkan pendopo meninggal kedua insan yang masih asyik bercengkrama.

Keesokan harinya Gajah Seto pergi ke puncang Gunung, dan Rara Wilis masuk ke ruangan samadhi. Sore hari Gajag Seto kembali, dan Rara Wilis pun sudah keluar dari ruangan samadhi, hingga malam harinya mereka bertemu di pendopo. Disitu sudah ditunggu oleh Ki Ageng, disuruhnya kedua murid tersebut duduk di hadapannya. Kemudian diapun melihat ke Gajah Seto, "Gajah Seto aku ingin dengar apa yang kau dapat dari pengembaraaanmu selama ini dan hasil pendakianmu ke puncak gunung?' tanya Ki Ageng

"Maaf guru, tidak banyak yang saya dapat dari pengembaraan ini. Saya hanya bisa membawakan barang-barang yang mungkin guru menyukainya. Air yang dulu dibawakan juga saya kembalikan lagi, masih utuh seperti semula. Sungguh pengembaraan yang sangat berat, saya harus membawa air ini terus-menerus. Di dusun tempat saya tinggal memang cukup makmur sehingga saya senang berada di sana namun seringkali ada gangguan. Untung dengan bekal ilmu kanuragan yang guru ajarkan semua bisa saya kalahkan. Kemudian dari hasil pendakian gunung tersebut saya hanya dapat menikmati keindahan suasana alam. Kiranya hanya itu yang saya dapatkan, maaf guru kalau salah," kata Gajah Seto.

"Kalau kamu muridku Rara Wilis, bagaimana hasil pengembaraanmu dan hasil di ruangan semedi?" tanya Ki Ageng

"Maafkan muridmu yang bodoh ini guru, awalnya sungguh terasa berat rasanya menerima perintah untuk mengembara karena saya masih baru dan saya sudah terlanjur cinta dengan suasana disini. Namun dalam perjalanan pendakian gunung dengan membawa bekal dan air yang guru berikan saya bulatkan langkah menempuh perjalanan ke dusun yang harus saya tuju. Semakin lama saya melangkah semakin terasa lelah, hingga akhirnya saya istirahat sejenak. Saat itulah saya tersadar, berat ringannya perjalanan yang saya lakukan karena saya terlalu memikirkan beban air dan beratnya medan yang harus ditempuh. Bukankah terasa ringan apabila pikiran terbebas dari berapa berat air dan seberapa berat medan perjalanan? Bukankah berjalan naik atau turun sama saja saya tetap berjalan? Bukankah jarak 1 km ataupun berpuluh-puluh kilo juga sama saja selama sepanjang saya bisa menikmati perjalanan yang harus ditempuh? Bukankah dengan medan yang terjal membuat saya lebih hati-hati dalam melangkah, sekalipun saya harus terjatuh pasti saya akan lebih berhati-hati kembali? Banyak pertanyaan di diri saya yang akhirnya membuat tersadar, dan membuat saya sampai ke tempat tujuan." kata Rara Wilis, sambil melirik ke Gajah Seto dan memberikan senyum manisnya.

"Sesampai ke temapat dusun pertama saya terkejut dengan kondisi dusun tersebut yang serba kekurangan, kondisi alam yang tidak bersahabat, kerasnya hidupnya, kerasnya perilaku warga dusun, kerasnya persaingan demi mempertahankan hidup yang mereka jalani. Saya bersyukur Guru, setidaknya berbekal perjalanan yang sulit akhirnya sayapun bisa melihat, menerima semua seprti apa adanya, bahkan memudahkan saya untuk masuk ke lingkungan yang berbeda. Saya belajar menggunakan prinsip garam dimana rasa garam itu selalu ada, dan tidak lebih tidak kurang. Karena kalau kurang akan terasa hambar, dan kalau lebih akan terasa asin. Saya mencoba masuk ke segala sisi, tanpa harus lebur musnah." katanya lagi, Ki Ageng hanya tersenyum mendengar cerita murid termuda.

"Sewaktu saya di ruangan samadi, awalnya melalui lubang yang ada saya bisa mengamati ruangan sekitar, namun seiiring dengan berjalannya waktu maka suasan menjadi temaram hingga akhirnya gelap. Udara yang saya rasakan juga semakin pengap, seakan tidak ada udara lagi. Hingga akhirnya saya hanya bisa mengambil sikap samadhi, berbekal perjalanan sebelumnya membuat saya hanyut kedalamnya sampai akhirnya guru memanggil saya. Trima kasih guru, berkat bimbingan guru hingga saya berhasil mencari apa yang selama ini saya cari, semakin yasa bisa menerima semuanya sebagai sebuah anugrah, semakin saya bisa menghargai raga ini, melihat, menyadari hingga melepaskan semuanya. Hanya semua itulah yang bisa berikan sebagai hadiah buat Guru, sekaligus saya mau minta maaf karena air yang Guru berikan telah habis saya minum di perjalanan, dan saya juga mempelajari ilmu dari luar perguruan ini sebagai pelengkap diri saya." kata Rara Wilis


Ki Ageng hanya manggut-manggut sambil tersenyum mendengarkan cerita muridnya, kemudian diapun memulai bicara,"Ngger, kedua muridku. Sengaja dahulu aku memilih kalian berdua dengan pertimbangan kalian berdua mewakili dua sisi pria dan wanita yang kulihat terbaik. Walaupun Rara Wilis termasuk muridku yang termuda namun kulihat dialah wakil dari sisi wanita yang terbaik. Akupun memberikan bekal air dalam bumbung bambu dengan ukuran yang sama sebagai bentuk keadilan untuk kalian bawa, air yang sebagai tanda aku selalu menyertai langkah kalian tentu saja boleh kalian minum kalau merasa haus. menjadi sangat aneh kalau air itu kalian simpan dan menjadi seolah ajimat atau kalian dewakan agar dapat memberikan kekuatan bagi kalian. Kekuatan sejati yang sebenarnya ada dalam diri kalian sendiri. Aku sengaja memberikan kalian jalan yang berbeda dan medan yang berbeda, Rara Wilis kuberikan jalan dan medan susah agar dia menyadari bahwa sisi kewanitaan yang dia miliki tidak menjadi alasan pembenaran untuk mendapatkan kesulitan yang lebih ringan dibanding kamu Gajah Seto. Begitu juga dengan alasan kenapa dia kumasukan ke ruangan Samadi, dimana cahaya dan udara aku atur sedemikian rupa agar dia merasakan apa yang dia ceritakan. Sedangkan kamu Gajah Seto ternyata dibalik kepandaian ilmu kanuragan yang kuakui teratas di padepokan ini atas ilmu yang kuberikan namun kamu belum bisa menyerap makna lain selain ilmu kanuragan."

"Rara Wilis, kiranya dirimulah yang selama ini aku nanti-nantikan sebagai penerus padepokan ini.."kata Ki Ageng selanjutnya dan membuat Rara Wilis terkejut, lebih terkejut lagi Gajah Seto.

"Guru, bukankah Rara Wilis seorang wanita. Sungguh tidak lazim dan belum ada sejarahnya padepokan ini dipimpin seorang wanita?" tanya Gajah Seto

"Gajah Seto, lupakah dirimu akan pelajaran yang telah kuajarkan selama ini. Beginilah kalau dirimu sudah terjebak dalam konsep pria dan wanita, padahal itu hanya sebuah sebutan yang kita berikan untuk membedakan saja. Tidak ada yang lebih baik atau lebih tinggi antara seorang yang disebut pria atau wanita. Keduanya sama-sama mempunyai raga yang sama, yang kita sebut sebagai manusia. Manusia yang terdiri dari raga dan jiwa, sehingga tidak perlu dipersoalkan siapa yang harus memimpin. Kalau kamu sadari lagi di dalam dirimu juga ada sisi kewanitaan yang terkandang muncul dan berbincang dengan sisi kepriaanmu. Kedua sisi yang saling mengisi, memberi, menerima  satu sama lain. Begitu juga kamu Rara Wilis. Satu lagi yang harus kalian ingat tentang raga ini, raga yang harus kalian sadari dimana jiwa kalian ada tentu saja ada kelebihan dan kekurangan. Terimalah, nikmati apa adanya, raga yang merupakan rumah sebenarnya dari diri kalian. Cintailah rumah kalian, namun jangan merusaha untuk mengikatnya. Biarlah raga ini berjalan searah dengan sang waktu, tidak ada yang bisa dicegah. Lihatlah rambutku ini yang terus memutih dan rontok meninggalkan kepala ini tanpa bisa kucegah. Rumah yang nantinya akan rapuh, namun hendaknya pikiran kalian jangan sampai rapuh. Bebaskan dia dari kerapuhan raga ini. Kiranya sekarang aku sudah bisa mulai mempersiapkan dirimu Rara Wilis untuk menjadi peneruskku, dan tentu saja Gajah Seto yang tentu akan selalu mendapingimu. Berjalanlah kalian berdua , beriringan satu sama lain, kedua sisi wanita dan pria yang berjalan beringan saling mengisi dan memberi. Berikan cahaya terangmu, berikan garammu bagi sesama makhluk. Kurestui kalian berdua." kata Ki Ageng sambil tersenyum dan mengandengkan tangan Gajah seto ke Rara Wilis

Sehabis memberikan restunya, Ki Ageng masuk ke ruangan meditasi. Meninggalkan Gajah Seto dan Rara Wilis yang sedang berbunga-bunga, merajut kasih mereka berdua.

Salam

Senin, 07 Desember 2009

Seorang Jai Hwa Cat

Suatu  ketika di sebuah tempat makan berkumpul para tetua dari berbagai aliran dalam dunia persilatan. Mereka semua sedang mengadakan upacara penyambutan seseorang, seorang pendekar gila . Sebutan yang disandangnya karena dirinya tidak pernah mau menyebutkan namanya, namun sebagai sesosok remaja dia sudah membuat geger dengan tindakan dan ucapannya seringkali diluar penalaran masyarakat pada umumnya. Tampak ditengah-tengah ruangan duduk di meja tengah sesosok pemuda didampingi tetua-tetua sedang asyikanya berbincang-bincang sambil menikmati makanan yang dihidangkan. Masih tersisa satu tempat duduk di meja tersebut.

Ditengah-tengah asyiknya mereka semua menikmati hidangan, suasana dibikin gaduh oleh kedatangan seorang pemuda tampan yang dengan langkah pasti memasuki ruangan tersebut. Dengan tatapan dan senyuman dibibirnya dia menuju ke meja dimana pendekar gila sedang duduk, keduanya saling bertatap mata sambil saling melemparkan senyum. Disambutnya pemuda tampan tersebut dengan ramah dan disuruhnya duduk disamping dirinya. Sepontan tindakan tersebut membuat para tetua dan hadirin yang hadir disitu terperangah dan tidak terima dengan perlakuan yang diberikan kepada sang pemuda. Ada yang berbisik-bisik, ada yang memperlihatkan muka tidak puas, ada juga yang langsung memberikan komentar dengan lantang.

"Hai Pendekar Gila, tidak tahukah kamu siapa yang barusan kau sambut? Masak seorang Jai Hwa Cat kau berikan kesempatan untuk duduk disamping dirimu dan para tetua yang terhormat?" kata hadirin
"Sungguh tidak pantas dirinya ada disini, usir saja dia dari sini!" suruh hadirin yang lainnya.
"Sungguh tak pantas kami berkumpul disini dengan seorang pendekar pemetik bunga yang selalu mengumbar nafsu birahinya," seru lainnya
"Benar pendekar gila, suruh keluar dirinya. Tidak pantas kita golongan putih bersanding dengan dirinya. Kalau engkau benar-benar menghormati kami para tetua kiranya suruh dirinya pergi keluar dari sini. Kedatangan dan penghormatan dirinya membuat kami terhina dengan perlakukan yang pendekar berikan kepadanya,, tidak pantas kami disejajarkan dirinya" kata salah satu tetua yang duduk bersama dengan Pendekar Gila.
Masih banyak seruan lainnya yang memperlihatkan ketidaksenangan mereka terhadap seorang Jai Hwa Cat yang menjadi teman Pendekar Gila

Sang pendekar gila hanya tersenyum sambil dilihatnya wajah-wajah sekitar yang menunjukkan rasa ketidaksukaannya kepada temannya, kemudian sambil tersenyum pula dilihatnya wajah temannya seorang yang mereka sebut Jai Hwa Cat. Berdua mereka saling melempar dan membalas tatapan, sang temannya pun mengerti dan menganggukkan kepalanya seakan sudah mengetahui apa yang akan dilakukan Pendekar Gila. Dengan tanpa beban pendekar gila berdiri sambil memberikan salam dulu kepada para tetua dan temannya, diapun mulai berbicara.

"Para tetua dan hadirin sekalian , maaf kiranya apabila perlakuan yang kuberikan kepada sahabatku menyinggung kalian semuanya. Sebuah perlakuan yang sebenarnya wajar diberikan bagi tamu yang datang, namun ternyata menjadi batu sandungan dan menjadi persoalan yang sebenarnya tidak perlu dipersoalkan.  Salahkah diriku menyambut, mempersilakan seseorang yang datang kepadaku siapapun orangnya?  Dimana letak kesalahan dan kebenaran? Apakah sekiranya saya makan menggunakan tangan kiri itu juga salah, karena tidak seperti yang para tetua atau hadirin yang makan dengan tangan kanan? Apakah kalau saya melangkah menggunakan kaki kanan dulu baru kemudian kaki kiri juga salah, karena berbeda dengan kebanyakan orang? Apakah kalau saya menggunakan pakaian wanita itu juga merupakan kesalahan? Apakah kalian juga akan memberikan penghormatan kepadaku dengan cara seperti ini apabila aku masuk kesini dengan badan yang bau dan penuh luka?" kata Pendekar Gila sambil tetap memberikan senyumnya

"Sangat menyedihkan melihat betapa para tetua dan kalian semua melihat dan menghakimi sesorang hanya dengan melihat segi terluar dari sesorang. Hingga akhirnya kalian bisa membaginya menjadi dua kelompok antara golongan yang kalian sebut hitam dan putih, sehingga yang putih harus berkumpul dengan yang putih karena dialah golongan yang terbaik. Kalian tutup mata dan hati kalian, sehingga tidak terlihat adanya kebaikan di dalam diri temanku ini yang kalian anggap golongan hitam.. Seolah olah pasti  selalu ada kebaikan di dalam golongan putih yang kalian agung-agungkan, tanpa pernah adanya terselip kejahatan yang ada diantara kalian.  Temanku kalian anggap golongan hitam karena perbuatannya di masa lalu, dimana sang pemetik bunga dan bunga yang dipetik melakukan kesalahan. Kenapa kesalahan hanya kalian tumpahkan kepada dirinya? Kenapa bunga yang dia petik tidak kalian  persoalkan? Bukankah mereka berdua melakukan hal yang sama dengan kesadaran mereka berdua. Mengapa kalian perlakukan temanku seolah-olah dia kotor banyak dosanya, apakah kalian juga manusia yang tanpa dengan dosa? Sangat menyedihkan tatkala sesorang menghakimi orang lain sementara diapun juga tidak luput dari apa yang kalian namakan dosa. Menyedihkan melihat topeng-topeng yang kalian pakai, dibalik jubah kemegahan serta status yang kalian sandang ternyata banyak kebusukan yang tersembunyi. Tidak sedikit dari kalian yang menggunakan aspek legalitas dari dogma atau kepercayaan yang kalian pegang untuk melakukan pembenaran atas tindakan yang kalian ambil. Dibalik sikap pertapa kalian ternyata pikiran, hati dan batin masih belum terbebas akan nafsu-nafsu duniawi yang ada. Dibalik sebutan pendekar yang kalian sandang ternyata tidak mencerminkan sikap seorang pendekar sejati. Ketika seseorang mengatakan orang lain tidak pantas dan layak untuk hidup berdampingan dengan dirinya pernahkan dirinya bertanya kepada dirinya seberapa pantaskah dirinya untuk bisa berdampingan dengan orang lain? Ketika sesorang akan melakukan kesalahan kemudian kalian kucilkan, pernarkah kalian menyadari kalian juga mungkin pernah berbuat kesalahan dan sudah layakkah perbuatan kalian itu? Saya sendiri mungkin tidak pantas berada disini di tengah-tengah golong kalian, untuk itu saya mohon diri pada para tetua, hadirin semua untuk meneruskan pngembaraan bersama teman sejati saya, seorang yang kalian sebut Jai Hwa Cat. Salam." kata pendekar gila sambil memberikan hormat dan senyum  diapun mengajak temannya meninggalkan ruangan tersebut.

Suasana menjadi diam, para tetua seakan dipukul dengan palu betapa piciknya mereka, begitu pula sebagian hadirin. Namun tidak sedikit pula yang masih memasang muka tidak senang dan tidak puas atas ucapan dan tingkah laku pendekar gila. Pendekar Gila yang sadar bahwa diapun juga belum terbebas akan nafsu yang selalu menggodanya....

Salam

Rabu, 18 November 2009

Jamu Ayem Tentrem

Ditengah teriknya cuaca siang itu, mataku tertuju pada sesosok penjual jamu yang  biasa menawarkan jamunya ke tempatku. Dengan langkah-langkah kecil dia berjalan kerumahku, terlihat peluh dikeningnya. Namun semua itu seakan sirna oleh senyum yang selalu terpancar di wajahnya yang sudah mulai termakan usia."Jamu-jamune mas' kata-kata yang selalu terdengar saat dia menawarkan jamunya. Dan seperti biasa biasa dia menyapaku dengan kata-kata Ngger atau Le, katanya aku suadah dianggap seperti anaknya sendiri. Terkadang kami berdua terlibat dalam perbincangan yang semakin membuatku mengerti makna hidup seperti perbincangan pada siang itu.
"Gimana Le, mau beli jamu apa?" kata Simbok Jamu sambil menaruh dagangannya di teras rumah sambil membasuh peluh dikeningnya dengan selendangnya.

"Biasa mbok,jamu sehat ya. Badan terasa tidak enak je mbok" kataku sambil duduk di lantai dekat simbok

Dengan cekatan diramunya jamu pesananku, langsung kuminum terasa hangat menjalar ke sekujur badanku. Kuperhatikan ternyata tinggal jamu yang barusan kuminum, tinggal botol-botol kosong yang tersisa. Kupandang wajah simbok yang sudah renta, namun memancarkan pesona yang semakin bersinar.

"Piye le, enak jamunya? Simbok sengaja memberikan jamu pahit tanpa tak kasih beras kencur atau kunir asem sebagai penawar rasa pahit. Coba rasakan dan nikmati pahitnya, temukan setitik rasa manis yang terkandung di dalam rasa pahit yang ada.  Walaupun cuma setitik, rasakan, nikmati dengan penuh kesadaran. Ingat le, hidupmu juga seperti itu to? Ingat lagi bagaimana kamu waktu lahir ibumu dengan menahan rasa sakit melahirkanmu, bagaima juga dulu waktu bayi kamu belajar berdiri atau berjalan pasti pernah jatuh , pernah sakit. Apakah kamu terus berhenti belajar berdiri atau berjalan? Kamu pasti terus belajar lagi hingga kamu bisa seperti sekarang ini. Itu semua merupakan sebuah proses agar kamu semakin kuat le. Coba kamu renungkan dan ingat-ingat lagi saat dimana kamu merasa sendiri, sedih, kesepian lalu ingat juga saat kamu merasakan kebersamaan, kenyamanan, keberhasilan, kesenangan." kata simbolksambil merapikan botol-botol  yang ada.

Aku dibuat termenung oleh kata-kata simbok. Kuperhatikan sekali lagi muka simbok dengan seksama.
"Coba le kamu rasakan lagi bagaimana kamu bernapas selama ini. Perhatikan dan sadari udara yang keluar dan masuk lewat kedua lubang hidungmu. Rasakan benar-benar, rasakan dan nikmati hadirnya Gusti lewat napas tersebut. Betapa selama ini Dia hadir menemanimu le dikala kamu susah atau senang. Dia selalu ada , sehingga gunakan ragamu untuk berkarya bagi sesama tanpa harus kau harap imbalan yang akan kauterima. Seperti bayang-bayang yang selalu menyertaimu, ikut kemanapun kamu pergi. Dia selalu ada le." kata simbok sambil meneguk minuman yang dibawanya.

"Coba kamu perhatikan barang bawaan simbok, pasti kamu berfikir dann kasihan melihat simbok bawa bawaan yang berat tidak sebanding dengan badan yang sudah mulai merapuh. Memang simbok akui raga ini tidalah seperti dulu, raga ini sudah termakan usia. Tiada yang tatap di raga ini le, tiada kekekalan yang mengikuti raga ini, terus berubah di makan sang waktu. Namun ada yang bisa kamu pelajari le, ternyata simbok masih bisa mengangkat dan berjualan keliling membawa botol-botol ini to? Ketika kamu melihat dan memikirkan sesuatu maka akan menjadi beban yang sangat berat. Seringkali disaat terhimpit beban yang berat kita memohon Gusti semoga diberikan keringanan untuk memanggul beban ini, mungkin lebih baik begini le "Gusti semoga diberikan kekuatan untuk memanggul beban ini", bebaskan pikiranmu akan beratnya beban yang harus kamu pikul agar terasa ringan dan tiada lagi yang membebanimu." 

"Simbok bersyukur le, walaupun tidak mengecap pendidikan seperti yang kamu jalani dan hanya menjadi penjual jamu seperti ini. Dengan menjadi penjual jamu , simbok bisa belajar meramu berbagai jenis tanaman yang masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan  untuk kemudian simbok ramu menjadi sebuah jamu. Dengan meramu tadi simbok juga belajar untuk meramu kelebihan dan kekurangan yang ada di diri simbok, teman, keluarga, lingkungan sekitar agar dapat menjadi jamu kehidupan yang lebih baik. " kata simbok lagi.

Aku semakin penasaran mendengar kata-kata simbok maka aku pun bertanya kepadanya, "Mbok, simbok itu agamanya apa to?

"O alah le, kasihan to kamu ini. Apa-apa kok selalu dihubungkan dengan agama dan kepercayaan seseorang. Hati-hati le, jangan sampai kamu terjebak dalam konsep atau kotak-kotak tersebut. Akan berbahaya karena kamu akan terjebak melihat seseorang dari agama sebagai sebuah pakaian yang dikenakan oleh sesorang, sehingga begitu kamu melihat pakaian warna hijau agamanya pasti ini dengan atribut seperti ini. Seperti sekarang seringkali terjebak dalam konsep penamaan Pria dan Wanita, sehingga terjebak dalam aturan kalau pria itu begini kalau wanita begini, hak dan kewajibannya terkadang juga dibedakan. Padahal coba direnungkan lebih dalam kan sama saja to le, sekarang juga ada pria yang jualan jamu kaya simbok. Apa itu salah?. Pria atau wanita sama saja tidak ada yang lebih, sama-sama sebagai manusia le."

"Belajarlah untuk bersikap sumeleh sebagai wong jowo, jalani hidupmu , nikmati dan resapi semua perjalanan dengan penuh kesadaran ya le. Simbok tak pulang dulu ya le, sudah sore besok ngobrol-ngobrol lagi ya. Semoga kamu tidak bosan ya le mendengarkan ocehan simbok ini yang tinggal menunggu saatnya untuk kembali kepada-Nya." kata simbok sambil menggendong kembali tenggok yang berisi botol-botol bekas jamu.

Lama kupandangi jalannya simbok, sampai hilang dari pandangan mataku. Sebuah "Jamu Ayem Tentrem" yang barusan kuminum, kenikmati dan kucoba resapi  lewat perantaran Simbok.

Gusti nyuwun kawelasan.














Kamis, 12 November 2009

Terbaik, Ter Kudus, dan Nomor Satu

Disebuah daerah pegunungan terdapat sebuah Biara yang menjadi tempat rohaniawan bertempat tinggal dan berkarya dalam panggilan hidup yang mereka jalani. Suasana  di biara tersebut sangat asri dan alami. Di pekarangan Biara tumbuh beraneka jenis tanaman dan satwa yang semakin menambah keasriannya. Suatu ketika terjadi sebuah perbincangan yang menarik antara tanaman anggur dan rumput kolonjono yang tumbuh di sekitar biara tersebut.
"Kawan, menurutmu aku ini bagaimana?" tanya tanaman Anggur kepada rumput.


"Bagaimana apanya, aku tidak paham dengan maksudmu?" jawab rumput


"Begini lho kawan, sebenarnya kita ini sebagai tanaman siapa diantara kita yang bisa disebut sebagai tanaman yang nomor satu, tanaman yang mampu menghasilkan bibit terbaik?" kata anggur
"Diriku, dirimu atau yang lain. Kalau menurutku mungkin aku ini bisa masuk ke kelompok itu. Kelompok nomor satu. Bagaimana tidak kawan, engkau pasti juga tahu sendiri anggur yang kuhasilkan ini merupakan anggur yang paling enak, paling baik kualitasnya. Anggurku juga oleh para biarawan digunakan sebagai sarana perjamuan agung yang biasa mereka lakukan. Sebuah perjamuan kudus, sehingga aku pun tentu saja menjadi buah dan tanaman yang kudus yang nantinya mampu memberikan bibit yang terbaik daripada yang lain." kata sang Anggur dengan bangganya


"Bagaimana kawan, benar kan Aku ini Kudus, lebih baik dari yang lainnya?" tanya Anggur kepada rumput


"Aku bingung kawan mau menjawab pertanyaanmu karena ku sendiri tidak mengetahui kriteria bisa disebut Kudus, Nomor satu, Terbaik, Terbenar. Jadi maaf kawan aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu." kata rumput. "Namun aku sendiri sadar kalau aku sebagai rumput mungkin hanya seperti inilah diriku. Aku hanya  akan berusaha menyerap semua intisari makanan yang ada dalam tanah dan kemudian aku olah sehingga  diriku bisa tumbuh dengan subur, bisa menjadi makanan yang sehat bagi ternak sapi yang ada disini sehingga mampu menghasilkan susu yang banyak dan berkualitas."


"Aku juga sadar kawan, kalau aku juga bisa tanaman yang mampu membunuhmu. Coba kalau aku tumbuh berdekatan dengan dirimu, smakin lama aku akan mengurung dan melilitmu hingga engkaupun akan mati karena kehabisan sari makanan. Kalaupun bisa tumbuh tentu buah yang kauhasilkan tidak sebaik yang sekarang. Sama seperti buah yang kauhasilkan, memang benar anggur yang kauhasilkan digunakan perjamuan agung, tapi tentu engkau juga tahu kalau ada sebagian orang menggunakan buahmu kemudian mereka olah hingga digunakan sebagai sarana untuk mabuk-mabukan." kata rumput sambil tersenyum.


"Aku hanya terus berusaha memberikan yang terbaik dari diriku, memberikan bagian tubuhku yang terbaik untuk ternak yang akan memakanku. Semoga aku bisa menghasilkan buah yang terbaik yang berguna bagi sesama makhluk. Semoga diriku bisa memberikan harapan yang terbaik bagi sesama makhluk. Kiranya hanya itu saja yang bisa kujawab kawanku, dan bisa menjadi bahan permenungan buatmu dan tidak memikirkan lagi buah ataupun bibit yang terbaik, ter Kudus dan nomor satu."





Senin, 09 November 2009

Kemana dan dimana harus mencari


Seekor kura-kura keluar dari cangkang yang selama ini membungkus dirinya, masih berselaput sisa-sisa cairan yang selama ini menjadi sumber hidupnya. Walaupun masih lemah, terus dia usahakan membuka matanya mempelajari keadaan sekitarnya.
Dilihatnya segenap makhluk yang ada disekitarnya, diamati, dipelajari semuanya sambil terus melanjutkan hidupnya. Ada rasa kekaguman, keheranan, iri hati, kekecewaan, sesal dan rasa lainnya .Seiring dengan perkembangan tubuhnya, semakin lama semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang terus berkecamuk di dirinya.

Mengapa diriku terlahir sebagai kura-kura?
Mengapa bukan sebagai hewan yang lain atau makhluk lainnya?
Coba aku bisa seperti kijang yang bisa cepat berlari
Coba aku bisa seperti singa yang gagah dan tegap badannya
Sementara diriku
Apa yang bisa membagakan dari kaki-kakiku yang kecil?
Apa yang bisa kubanggakan dari mukaku ini?
Apa yang bisa kubanggakan dari tempurungku ini?
Mengapa kalian sering menghina dan mencemoohku?
Mengapa kalian tidak pernah memperhatiakn diriku?
Adilkah Engkau ?
Dimanakah adanya Keadilan?
Dimanakah adanya Kebenaran?
Dimanakah adanya Kedamaian?

Semakin lama, semakin banyak pertanyaan yang semakin membuat dirinya bingung dan merasa kecewa. Dicarinya tempat dan makhluk lainnya yang bisa memberikan dan memecahkan pertanyaan-pertanyaan yang ada di dirinya. Tidak ada jawaban yang mampu memuaskan dirinya, padahal sudah terasa lelah dia melakukan perjalanan. Hingga akhirnya sang kura-kura dengan duduk termenung dia merenungi nasibnya. Tak dihiraukan keadaan sekelilingnya, sampai pada suatu ketika dilihatnya seekor kijang yang tengah berusaha menyelamatkan dirinya dari terkaman singa namun tidak berhasil dan dimakan oleh sang singa. Saking terkejutnya membuat sang singa terganggu dan berusaha memakannya. Karena takutnya kura-kura menarik segenap anggota tubuhnya kedalam tempurungnya sehingga singa tidak berhasil memakannya dan setelah selesai menyantap sang kijang diapun pergi.

Seketika kura-kura tersadar, sebuah pencerahan dialaminya. Apa yang selama ini menjadi pertanyaan dan beban dirinya sirna sudah. Rasa puji syukur dia panjatkan. Betapa selama ini dirinya disilaukan oleh keadaan sekitar sehingga tidak melihat hati dan pikiranya. Mempelajari hatinya sebagai sebuah buku yang tidak habisnya untuk dipelajari. Mempelajari pikiran nya sendiri, melihat dan mengamatinya. Pikiran yang selama ini membuat dirinya terombang ambing. Betapa selama ini ini yang dia cari-cari ternyata berada dalam dirinya sendiri. Sebuah pencerahan yang akhirnya membuat kura-kura semakin mantap melangkah sambil terus berusaha tersadar dalam segenap gerak hidupnya. Kebenaran dan kedamaian yang selama ini dicarinya telah ditemukannya. Jejak langkah kura-kura dalam menapaki hidup.

Ketika pikiran terang, Anda akan dapat melihat kotoran batin dengan jelas dan juga membersihkannya. 
Kedamaian ada pada diri sendiri, ditemukan di tempat yang sama dengan kesulitan dan penderitaan
Ketika Adnda merasakan penderitaan, Anda juga dapat menemukan kebebasan dari penderitaan
Mencoba lari dari penderitaan sebenarnya justru berlari menuju penderitaan.
(dikutip dari Tidak Ada ~ Ajahn Chah)








Rabu, 04 November 2009

Belajar


Nan-in, a Japanese master during the Meiji era (1868-1912), received a university professor who came to inquire about Zen.
Nan-in served tea. He poured his visitor's cup full, and then kept on pouring.
The professor watched the overflow until he no longer could restrain himself. "It is overfull. No more will go in!"
"Like this cup," Nan-in said, "you are full of your own opinions and speculations. How can I show you Zen unless you first empty your cup? (www.ashidakim.com)


Dalam proses belajar baik itu formal maupun informal selalu ada dua pihak yang secara umum sama yaitu pihak yang belajar dan pihak yang mengajar. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas dari proses belajar mengajar tersebut, mulai dari faktor intern dan ekstern. Faktor intern pun bisa diperjelas lagi dari pihak pengajar atau pihak yang diajar. Namun faktor intern yang dalam hal ini seringkali terlupakan yaitu faktor internal dari yang sedang belajar yaitu kemauan dia untuk "membuang" semua yang ada dipikirannya, "membu ang rasa ke-Tahu-annya", "membuang semua opini yang ada", "membuang rasa ke-Aku-an", kosongkan barang sejenak apa yang dalam pikiran kemudian serap semua yang dipelajari sampai penuh. Bagaimana mungkin kita dapat mempelajari sesuatu kalau dalam pikiran kita sudah timbul rasa sudah mengetahui apa yang akan dipelajari.

Bagaimana mungkin kita akan mampu menyerap ilmu yang akan dipelajari kalau di pikiran kita sudah merasa penuh, merasa tidak perlu lagi sehingga serasa tidak ada lagi ilmu-ilmu baru yang bisa ditampungnya. Dengan belajar mengkosongkan pikiran kemudian kita serap pelajaran-pelajaran baru , baik itu belajar dari alam, teman, lingkungan, guru ataupun buku atau yang lainnya, semoga semakin meningkatkan kualitas dalam belajar. Dari kutipan diatas "Like this cup," Nan-in said, "you are full of your own opinions and speculations. How can I show you Zen unless you first empty your cup?, semoga bisa membuat dan meningkatkan kualitas kita dalam belajar.





Jumat, 30 Oktober 2009

Pernahkah?





Kawan
Ingin sekali aku bertemu dengan dirimu, namun seakan tak ada waktu
Kurindukan saat-saat dimana kita seringkali bersama
menghabiskan waktu yang ada bersama
siang dan malam bersama membuat lukisan atas hidup kita bersama
Entah kapan dan dimana kita bisa berjumpa kembali


Kawan
Pernahkah dirimu merasa kesepian?
Kalau pernah, syukurilah sebagai nikmat yang kauterima
Dengan begitu dirimu akan terus berusaha membantu sesama agar tidak merasa sendiri,
merasa kesepian lagi, merasa diperhatikan
karena ada dirimu yang akan selalu menemani


Pernahkah  dirimu merasakan kegagalan?
Kalau pernah, bersyukurlah kawan
Dengan pernah merasa gagal, kamu setidaknya sudah pernah menjadi orang yang gagal
Jikalau kamu melihat sesama yang sedang merasakan kegagalan
bantu dia, angkat dia, bangunkan dia, semangati dia
Agar berusaha dirinya tidak menyerah dan bersemangat kembali
hingga tercapai apa yang diinginkannya


Pernahkah dirimu merasakan kesakitan, kelaparan dan kedinginan?
Ucapkan syukur kalau kamu pernah mengalaminya


Dengan begitu kamu akan bisa membantu sesama yang sedang sakit dan kelaparan
Kau bantu sembuhkan lukanya, basuhi dia dengan kasihmu
Kau berikan sebagian dari makananmu sehingga mereka tidak lapar lagi
Kau selimuti dia dan Kau hangatkan dengan cahaya terangmu


Pernahkah dirimu merasa ditinggalkan dan disakiti?
Sebuah nikmat kalau kamu pernah mengalaminya
Dengan begitu kamu menjadi tahu dan terus berusaha untuk tidak menyakiti sesama
Berusaha untuk tidak meninggalkan dan melupakan sesamamu
Kau gandeng, Kau tarik tangannya apabila dia terjatuh


Pernahkah dirimu merasakan keberhasilan, kecukupan?
Jikalau pernah, bagaimana rasanya?
Ucapkan syukur dan jangan pernah lupa
Bantulah sesamamu agar mereka bisa pula merasakan
Keberhasilan, Kecukupan , Kenikmatan


Pernahkah dirimu merasakan kegembiraan, kesenangan?
Jangan lupa pula untuk bersyukur kawan
Bantulah dan ingat selalu sekelilingmu
Bagilah kegembiraan dan kesenanganmu buat mereka
sekecil dan secuil bentuknya amat berguna bagi mereka temanku


Pernahkah?
Pernahkah?
Pernahkah?


Aku hanya bisa bertanya kepadamu
Hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang mungkin dirimu sendiri yang bisa menjawabnya
Akupun juga masih bertanya kepada diriku sendiri
Mungkin pertanyaan seperti tu membantumu kawan
Semuanya mungkin telah kaulami Kawan
Sama seperti saat kita membuat lukisan hidup kita
Berbagai macam warna telah kita tumpahkan di kanvas yang ada
Hingga akhirnya cuma ada warna putih di kanvas hidup kita
Semuanya terjadi dan akan terjadi
Sama saja
Semuanya akan musnah, sirna
Hanyalah jiwa mu, jiwa ku dan jiwa lainnya yang tersisa


I miss you, my friends














Kamis, 29 Oktober 2009

Bird Song

A little bird singing a love song that her mother taught. That little bird somehow sings it over and over . She files very high try to find the place she first learnt to fly. She files so very high she wants to seek an answer from the sky. On a misty mountain over the clear water river, but there's no misty mountain let alone a clear water river. And she just wants to go home. She just wants to be at home on a misty mountain, but now turned into barren. She just wants to be singing when the sun rise in the morning on a misty mountain but now turned into barren. She doesn't know what happened. All of those trees has been cut down. In the name of humanity The river runs dry, because now clouds refuse to cry. If I could Then I would Try to make us all Care bout her call (Bird Song by Letto)

Disebuah  hutan di lereng Gunung yang suasananya masih asri dan alami, ditumbuhi oleh beraneka ragam pohon, sehingga menjadi habitat yang menyenangkan bagi komunitas burung. Bermacam-macam jenis burung berada disitu. Tentu saja masing-masing jenis burung mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, ada yang mempunyai bulu yang indah dilihat namun tidak mampu menghasilkan  suara nyanyian yang merdu untuk didengar. Ada yang mempunyai bentuk yang proporsional sehingga kelihatan menawan, namun ada yang mempunyai bentuk yang aneh bahkan menakutkan untuk dilihat.

Pada dasarnya semua burung dapat hidup dengan rukun satu dengan yang lain, namun entah karena prubahan atau karena ego yang semakin dikedepankan suasana yang tadinya ayem tentrem menjadi berubah. Masing-masing burung berusaha mengeluarkan suaranya, sekeras-kerasnya tidak peduli merdu atau tidak. Saling berlomba-lomba menjadi yang terkeras, yang tadinya suaranya merdu menjadi tidak merdu lagi, yang tadinya suaranya serak-serak becek makin tambah becek, yang suaranya sumbang menjadi lebih hancur lagi suaranya. Suasana menjadi sedemikian gaduh, menjadi tidak enak dan sudah mengganggu.


Hingga akhirnya membangunkan tidur darès atau manuk darès atau manguni atau Si Burung Hantu. Burung yang diberikan anugrah dengan kedua mata besar yang menghadap ke depan dan memiliki 100 kali lebih dari kepekaan mata manusia. Juga dianugerahi pendengaran yang tajam serta bulu-bulu yang halus sehingga saat dia terbang malam tidak mengeluarkan suara berisik. Sang burung yang dibalik wajahnya yang seram, suara yang tidak merdu namun melambangkan kebijakan didalamnya. Dengan mata yang agak merem-melek, maklum agak silau dengan cahaya matahari dia pun memulai berkata didepan burung-burung lain yang sedang asyik berteriak-teriak

"Wahai kawan, coba diam dulu barang sebetar", suara burung hantu agak meninggi, membuat semua burung terdiam. Maklum dia disegani dan dihormati di komunitas tersebut.

"Cobalah diam sejenak, lihat sekeliling kalian masing-masing. Apa yang telah kalian lakukan sekarang ini? Apa manfaatnya kalian berteriak-teriak sekeras-kerasnya, merdukah suara kalian dengan teriak kayak gitu? Hanya kegaduhan dan kekacauan yang kalian hailkan, tanpa adanya manfaat bagi kalian sendiri maupun lingkungan sekitar kalian. Kalian masing-masing telah diberikan anugrah masing-masing dengan kelebihan dan kekurangan masing. Lihatlah diriku, gantengkah diriku? Merdukah suaraku? Tidak kataku." kata Sang burung Hantu yang membuat burung-burung lainnya termenung

"Tapi aku bersyukur karena aku diberikan kelebihan diluar itu, kusyukuri saja dan kukembangkan saja kelebihanku. Cobalah kalian kalau ingin menciptakan ketentraman dan kedamaian, mulai belajar bernyanyi. Yang suaranya merdu berusaha mengimbangi yang suaranya tidak merdu, yang punya suara tidak merdu juga tidak usah takut untuk bersuara. Saling bagi tugas, saling mengisi satu dengan lainnya, pasti akan tercipta sebuah nyanyian yang penuh dengan keharmonian dan membawa kedamaian, ketenangan bagi yang menikmatinya." kata sang burung hantu. Kemudian diapun asyik memejamkan matanya, sementara burung-burung yang lain terdiam sesat, merenungkan dan meresapi serta mencoba untuk mempraktekkannya. Tanpa mengenal lelah mereka berlatih hingga akhirnya terciptalah sebuah nyanyian burung yang mampu membuat yang mendengarnya terpesona dan terhanyut dalam kedamaian dan ketenangan yang luar biasa.

Seringkali kitapun terjebak dalam suasana seperti itu, segala keegoan, KeAkuan, Kesombongan diri kita muncul. Merasa diri paling hebat, paling benar, paling berkuasa dan paling sebagainya. Merasa bahwa dialah Dewa Penyelamat yang selama ini dinantikan dan tidak ada yang lebih baik dari dirinya. Tak jarang terjebak intrik-intrik untuk saling menjatuhkan satu sama lain, agar kelihatan lebih hebat dari yang lainnya. Seakan-akan nilai-nilai budaya luhur negeri yang sudah ada sejak dulu seperti kerukunan (guyup rukun), kegotongroyongan, tepa seliro, masih banyak budaya luhur yang seakan terlupakan. Masing-masing juga seakan terjebak dengan upaya pemenuhan akan hak-hak mereka yang lebih dahulu diminta tanpa menyelesaikan kewajiban yang ada dipundaknya. Terjebak dalam budaya Meminta, Budaya KeEgoan, KeAkuan yang sangat kental.

Padahal jika direnungkan masing-masing telah dianugerahi dengan kelebihan dan kekurangan oleh Dia. Sebuah anugerah yang patut disyukuri dan dipergunakan dengan bijaksana. Jikalau masing-masing bisa menjalankan peran atau lakon yang selama ini dijalaninya dengan tetap memegang teguh nilai-nilai luhur, nilai spriritual, berusaha untuk memberikan yang terbaik dari dirinya bagi sesama, mengedepankan kewajiban dari haknya pasti akan tercipta kehidupan yang lebih baik. Yang diberi anugrah untuk berkuasa, berusaha untuk menjadi seorang gembala sejati yang terus memberikan Kasihnya bagi rakyatnya. Rakyatnya pun berusaha untuk tetap memberikan Kasihnya bagi Gembalanya. Niscaya tidak ada lagi yang merasa berkekurangan dan berkelebihan, tidak ada lagi yang merasa hebat dan lemah, tidak ada yang pintar dan bodoh, semuanya sama. Seperti komunitas burung, dengan selalu memberikan kasih, harapan dan terang bagi sesama pasti akan tercipta nyanyian kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman.





Rabu, 28 Oktober 2009

Kebahagiaan


Manusia mencari kebahagiaan ke mana-mana dan dengan segala cara, namun tidak pernah dapat menemukan kebahagiaan itu. Kebahagiaan tidak bisa ditemukan kalau dicari. Kebahagiaan adalah suatu keadaan batin yang tidak diganggu oleh gejolaknya nafsu. Selama nafsu masih bergejolak dalam batin, tidak mungkin manusia dapat berbahagia, karena dia akan terbentur dengan halangan-halangan dalam mengejar kesenangan seperti yang dikehendaki oleh nafsu. Dalam keadaan tidak berbahagia, bagaimana mungkin menemukan kebahagiaan? Kalau keadaan yang tidak berbahagia itu tidak ada lagi, manusia tidak lagi membutuhkan kebahagiaan. Kenapa? Karena dia sudah bahagia! Kebahagiaan itu sudah ada selalu dalam diri manusia sendiri, namun terselubung oleh bermacam persoalan dan kesukaran yang menjadi akibat dari menuruti nafsu diri. Seperti orang yang mencari kesehatan. Bagaimana mungkin akan dapat mengalami kesehatan kalau tubuhnya sedang sakit? Daripada mencari kesehatan yang tak mungkin dia temukan, lebih baik meneliti dirinya sendiri yang sakit, mengusahakan agar penyakit itu lenyap. Kalau dirinya sudah tidak dihinggapi penyakit lagi, apakah dia butuh mencari kesehatan? Tidak perlu lagi karena dia sudah sehat!

Manusia biasanya tidak dapat menikmati kesehatan kalau dia sehat. Baru merindukan kesehatan kalau dia sakit. Demikian pula manusia tidak dapat menikmati kebahagiaan kalau dia berbahagia. Baru merindukan kebahagiaan dikala dia sedang tidak berbahagia. Hidup itu sendiri adalah indah, hidup itu sendiri adalah bahagia. Mengapa repot-repot mencari kebahagiaan dengan segala cara?

Kalau kita renungkan secara mendalam, kita dapat bersama-sama menyelidiki tentang kebahagiaan itu. Kebahagiaan berada di atas susah dan senang. Bahkan diwaktu mendapatkan kesusahan, kita masih berbahagia. Bahagia tidak disentuh dan tidak diubah oleh susah senang yang hanya lewat seperti lewatnya segumpal awan diangkasa yang cepat lewat dan lenyap. Kebahagiaan tidak mungkin dapat ditemukan dengan jalan mencarinya. Kebahagiaan tidak dapat dicari. Makin didambakan dan dicari, makin menjauhlah dia.

Daripada bersusah payah mencari kebahagiaan, lebih baik orang meneliti ketidak-bahagiaan. Ketidak-bahagiaan ini dapat terasa oleh setiap orang. Merasa tidak berbahagia. Kita lalu meneliti dan mengamati diri sendiri, apa yang menyebabkan kita tidak bahagia? Kalau sebab adanya ketidak-bahagiaan ini sudah tidak ada lagi, kita tidak membutuhkan bahagia. Kenapa? Karena kita sudah berbahagia! Berarti bahwa kebahagiaan itu sudah ada dan selalu ada dalam diri kita. Seperti halnya kesehatan. Kesehatan itu sudah ada pada kita. Akan tetapi biasanya kita tidak merasakan adanya kesehatan ini, tidak dapat menikmati. Baru kalau kita jatuh sakit, kita mendambakan kesehatan. Demikian pula kebahagiaan. Selalu terutup oleh ulahnya nafsu, senang susah, sedih gembira, dan segala macam perasaan yang didorong oleh nafsu. Karena kita menjadi budak nafsu kita sendiri, maka kebahagiaan itu tertutup dan tidak pernah dapat dirasakan. Yang dapat dirasakan hanya kesenangan dan kesenangan inipun ulah nafsu. Nafsu mendorong kita agar selalu mengejar kesenangan. Orang yang tidak lagi menjadi budak nafsu, melainkan menjadi majikan nafsu, mungkin sekali akan dapat merasakan kebahagiaan itu. Nafsu tidak lagi menyeret kita ke dalam perbuatan yang hanya mengejar kesenangan sehingga untuk mencapai kesenangan, kita halalkan segala macam cara.

Nafsu merupakan peserta hidup yang amat penting dan berguna, kalau saja kita yang mengendalikannya. Akan tetapi kalau nafsu menguasai kita, maka malapetakalah yang akan menimpa diri kita. Tanpa nafsu kita tidak akan dapat hidup di dunia ini. Nafsu yang mendorong kita untuk hidup layak sebagai manusia. Akan tetapi dengan nafsu menjadi majikan, kita akan hidup sesat. Nafsu bagaikan api. Kalau kita dapat menguasainya, maka api itu amat berguna nagi kehidupan kita. Akan tetapi kalau terjadi sebaliknya, api yang mengamuk menguasai kita, api itu akan membakar segala yang ada!

Lalu bagaimana caranya untuk menguasai dan mengendalikan nafsu yang demikian kuatnya? Diri kita sudah menjadi gudang nafsu, maka akan sia-sialah kalau kita berusaha untuk menundukkannya. Pikiran itu sendiri yang ingin menguasai nafsu, sudah bergelimang dengan nafsu. Juga ilmu pengetahuan tidak dapat dipergunakan untuk menguasai nafsu. Lalu bagaimana? Satu-satunya jalan untuk menguasai nafsu hanya MENYERAH kepada KEKUASAAN TUHAN! Hanya Tuhanlah yang dapat menundukkan nafsu. Siapa lagi yang dapat menundukkan nafsu selain YANG MAHA PENCIPTA? Kalau kita menyerahkan diri dengan penuh keimanan, tawakal dan kepasrahan yang ikhlas, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja dalam diri kita!

(Dari Cersil Pendekar Kelana by Kho Ping Hoo)



Selasa, 27 Oktober 2009

Perlukah berubah dan bagaimana menyingkapi perubahan?



Disuatu tempat dan disuatu masa terdapat sekelompok lebah dengan dipimpin seekor ratu lebah yang cantik dalam keadaan yang aman tenteram, serba berkecukupan dan berada dalam lingkungan alam yang begitu bersahabat dengan mereka. Ada yang menarik dalam komunitas tersebut dimana mereka hanya mencari nectar dari satu jenis bunga pohon tertentu saja, padahal dilingkungan tersebut dipenuhi oleh beraneka ragam tanaman dan beraneka ragam bunga namun mereka tidak mau mengambilnya, tetap saja mereka menghisap nectar dari jenis tertentu tersebut. Mereka beraggapan bahwa nectar dari pohon tersebut adalah yang terbaik, nomor satu, tanpa pernah sekalipun berusaha untuk mempelajari dan merasakan jenis lainnya. Seringkali pohon tersebut mereka anggap sebagai dewa penyelamat bagi mereka dan mereka keramatkan . Turun temurun kejadian tersebut berlangsung, tidak ada yang berubah, semuanya berada dalam kondisi yang membuat mereka terlena , dinina bobokan oleh keadaan, hingga mereka tidak sadar akan kelebihan alam yang sama sekali belum mereka olah untuk kesejahteraan mereka. Hingga akhirnya karena suatu bencana alam semua diporak porandakan, pohon yang selama ini mereka dewa-dewakan musnah sudah. Mereka yang selama ini terlena oleh keadaan menjadi kebingungan, menjadi serba salah, saling menyalahkan satu dengan lainnya. Mereka tidak siap menghadapi perubahan keadaan yang ada, sibuk meratapi nasib yang mereka alami.

Tidak jauh dari komunitas tersebut terdapat juga komunitas lebah yang dipimpin seekor ratu lebah yang cacat secara fisik, namun sang ratu dengan bijaknya memimpin warganya. Walaupun daerah dimana mereka berada tidak kaya pohon maupun bunga yang bisa dihisap nectarnya, namun warganya disadarkan untuk menerima kekayaan alam yang ada dengan penuh syukur, dinikmati, dan diolah sebaik mungkin sambil terus menemukan sumber daya alam baru atau menemukan cara-cara inovasi terbaru. Tatkala merekapun menerima bencana alam maka mereka lebih siap menghadapinya, dengan cepatnya mereka bangun. Tegak berdiri kembali, dengan sisa-sisa tenaga dan sumber daya yang ada. Seolah-olah tidak ada kejadian yang menimpa mereka, hadapi saat ini dan masa depan dengan penuh semangat.

Seringkali dalam hidup kita menghadapi berbagai perubahan yang ada. Baik perubahan diri pribadi sendiri maupun lingkungan sekitar kita. Tidak ada yang tetap. Seringkali kita juga terjebak dalam kondisi kemapapan yang kita alami, terlena, sehingga tidak siap untuk menerima perubahan yang ada. Dalam bukunya Managing Change at Work, Scott & Jaffe menjelaskan tahapan respon terhadap perubahan yang dialami oleh individu, sebagai berikut:
Menyangkal/Denial 
Pada tahap ini, individu berusaha menyangkal atau menolak informasi, dengan cara melindungi diri dengan bersikap acuh, meremehkan, meminimalisir dampak perubahan terhadap diri kita sendiri, seakan-akan perubahan ini hanya bersifat sementara. Penyangkalan ini merupakan suatu reaksi terhadap kondisi-kondisi eksternal lingkungan yang berubah. 
Bertahan/Resistance 
Tahap berikutnya adalah bertahan untuk tidak berubah. Kondisi ini muncul sebagai suatu reaksi yang datang dari dalam/internal individu itu sendiri (perasaan). Biasanya muncul dalam bentuk anakronisme (kebiasaan masa lalu), menyalahkan orang lain atau berpura-pura seakan perubahan itu tidak terjadi.
Mencari Tahu/Exploration
Tahap ini merupakan awal dari suatu tahap penyesuaian diri. Pada tahap ini individu mulai menyadari bahwa perubahan tidak dapat dihindari dan mulai mencari tahu atau melakukan eksplorasi tentang kemungkinan-kemungkinan atau cara-cara baru dalam melakukan sesuatu.
Komitmen/Commitment
Individu pada tahap ini sudah berhasil menyesuaikan dirinya terhadap perubahan yang terjadi dan berkomitmen mendukung perubahan itu sendiri. Individu tersebut memiliki fokus perhatian pada bagaimana caranya membuat sistem tetap berjalan dan meningkatkan cara kerja sistem itu. Pada tahap ini individu terus mencari kesempatan dan peluang untuk berkembang dan beradaptasi lebih jauh lagi.

Cerita lebah diatas dan teori diatas sebagai gambaran akan pribadi kita masing-masing dalam menghadapi perubahan yang selalu ada di depan mata dan di diri kita. Ditahapan mana kita dalam menyingkapi perubahan? Perlukah berubah dan bagaimana menyingkapi perubahan ? Hanya diri kita masing-masing. yang mengetahui. Selalu eling dan waspada mungkin ini sikap yang seringkali kita dengar. Semoga kita semua bisa menerima dan menghadapi perubahan dengan lebih bijak, lebih dewasa, kita terima semuanya dalam porsi yang sama. Selama kita masih bisa bernapas tidak akan pernah kita lewatkan perubahan yang ada.