Kamis, 29 Oktober 2009

Bird Song

A little bird singing a love song that her mother taught. That little bird somehow sings it over and over . She files very high try to find the place she first learnt to fly. She files so very high she wants to seek an answer from the sky. On a misty mountain over the clear water river, but there's no misty mountain let alone a clear water river. And she just wants to go home. She just wants to be at home on a misty mountain, but now turned into barren. She just wants to be singing when the sun rise in the morning on a misty mountain but now turned into barren. She doesn't know what happened. All of those trees has been cut down. In the name of humanity The river runs dry, because now clouds refuse to cry. If I could Then I would Try to make us all Care bout her call (Bird Song by Letto)

Disebuah  hutan di lereng Gunung yang suasananya masih asri dan alami, ditumbuhi oleh beraneka ragam pohon, sehingga menjadi habitat yang menyenangkan bagi komunitas burung. Bermacam-macam jenis burung berada disitu. Tentu saja masing-masing jenis burung mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, ada yang mempunyai bulu yang indah dilihat namun tidak mampu menghasilkan  suara nyanyian yang merdu untuk didengar. Ada yang mempunyai bentuk yang proporsional sehingga kelihatan menawan, namun ada yang mempunyai bentuk yang aneh bahkan menakutkan untuk dilihat.

Pada dasarnya semua burung dapat hidup dengan rukun satu dengan yang lain, namun entah karena prubahan atau karena ego yang semakin dikedepankan suasana yang tadinya ayem tentrem menjadi berubah. Masing-masing burung berusaha mengeluarkan suaranya, sekeras-kerasnya tidak peduli merdu atau tidak. Saling berlomba-lomba menjadi yang terkeras, yang tadinya suaranya merdu menjadi tidak merdu lagi, yang tadinya suaranya serak-serak becek makin tambah becek, yang suaranya sumbang menjadi lebih hancur lagi suaranya. Suasana menjadi sedemikian gaduh, menjadi tidak enak dan sudah mengganggu.


Hingga akhirnya membangunkan tidur darès atau manuk darès atau manguni atau Si Burung Hantu. Burung yang diberikan anugrah dengan kedua mata besar yang menghadap ke depan dan memiliki 100 kali lebih dari kepekaan mata manusia. Juga dianugerahi pendengaran yang tajam serta bulu-bulu yang halus sehingga saat dia terbang malam tidak mengeluarkan suara berisik. Sang burung yang dibalik wajahnya yang seram, suara yang tidak merdu namun melambangkan kebijakan didalamnya. Dengan mata yang agak merem-melek, maklum agak silau dengan cahaya matahari dia pun memulai berkata didepan burung-burung lain yang sedang asyik berteriak-teriak

"Wahai kawan, coba diam dulu barang sebetar", suara burung hantu agak meninggi, membuat semua burung terdiam. Maklum dia disegani dan dihormati di komunitas tersebut.

"Cobalah diam sejenak, lihat sekeliling kalian masing-masing. Apa yang telah kalian lakukan sekarang ini? Apa manfaatnya kalian berteriak-teriak sekeras-kerasnya, merdukah suara kalian dengan teriak kayak gitu? Hanya kegaduhan dan kekacauan yang kalian hailkan, tanpa adanya manfaat bagi kalian sendiri maupun lingkungan sekitar kalian. Kalian masing-masing telah diberikan anugrah masing-masing dengan kelebihan dan kekurangan masing. Lihatlah diriku, gantengkah diriku? Merdukah suaraku? Tidak kataku." kata Sang burung Hantu yang membuat burung-burung lainnya termenung

"Tapi aku bersyukur karena aku diberikan kelebihan diluar itu, kusyukuri saja dan kukembangkan saja kelebihanku. Cobalah kalian kalau ingin menciptakan ketentraman dan kedamaian, mulai belajar bernyanyi. Yang suaranya merdu berusaha mengimbangi yang suaranya tidak merdu, yang punya suara tidak merdu juga tidak usah takut untuk bersuara. Saling bagi tugas, saling mengisi satu dengan lainnya, pasti akan tercipta sebuah nyanyian yang penuh dengan keharmonian dan membawa kedamaian, ketenangan bagi yang menikmatinya." kata sang burung hantu. Kemudian diapun asyik memejamkan matanya, sementara burung-burung yang lain terdiam sesat, merenungkan dan meresapi serta mencoba untuk mempraktekkannya. Tanpa mengenal lelah mereka berlatih hingga akhirnya terciptalah sebuah nyanyian burung yang mampu membuat yang mendengarnya terpesona dan terhanyut dalam kedamaian dan ketenangan yang luar biasa.

Seringkali kitapun terjebak dalam suasana seperti itu, segala keegoan, KeAkuan, Kesombongan diri kita muncul. Merasa diri paling hebat, paling benar, paling berkuasa dan paling sebagainya. Merasa bahwa dialah Dewa Penyelamat yang selama ini dinantikan dan tidak ada yang lebih baik dari dirinya. Tak jarang terjebak intrik-intrik untuk saling menjatuhkan satu sama lain, agar kelihatan lebih hebat dari yang lainnya. Seakan-akan nilai-nilai budaya luhur negeri yang sudah ada sejak dulu seperti kerukunan (guyup rukun), kegotongroyongan, tepa seliro, masih banyak budaya luhur yang seakan terlupakan. Masing-masing juga seakan terjebak dengan upaya pemenuhan akan hak-hak mereka yang lebih dahulu diminta tanpa menyelesaikan kewajiban yang ada dipundaknya. Terjebak dalam budaya Meminta, Budaya KeEgoan, KeAkuan yang sangat kental.

Padahal jika direnungkan masing-masing telah dianugerahi dengan kelebihan dan kekurangan oleh Dia. Sebuah anugerah yang patut disyukuri dan dipergunakan dengan bijaksana. Jikalau masing-masing bisa menjalankan peran atau lakon yang selama ini dijalaninya dengan tetap memegang teguh nilai-nilai luhur, nilai spriritual, berusaha untuk memberikan yang terbaik dari dirinya bagi sesama, mengedepankan kewajiban dari haknya pasti akan tercipta kehidupan yang lebih baik. Yang diberi anugrah untuk berkuasa, berusaha untuk menjadi seorang gembala sejati yang terus memberikan Kasihnya bagi rakyatnya. Rakyatnya pun berusaha untuk tetap memberikan Kasihnya bagi Gembalanya. Niscaya tidak ada lagi yang merasa berkekurangan dan berkelebihan, tidak ada lagi yang merasa hebat dan lemah, tidak ada yang pintar dan bodoh, semuanya sama. Seperti komunitas burung, dengan selalu memberikan kasih, harapan dan terang bagi sesama pasti akan tercipta nyanyian kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman.





Tidak ada komentar: