Mungkin ada sebagian orang yang masih mengingat dan banyak yang mengikuti sandiwara radio Saur Sepuh, yang mengalami masa keemasan sandiwara tersebut tentu tidak akan lupa dengan seorang tokoh "Brama Kumbara" yang dalam ceritanya digambarkan sebagai seorang raja yang bijaksana, adil dan mampu membebaskan negaranya "Madangkara" dari cengkeraman bangsa "Kuntala".
Dia digambarkan sebagai seorang sosok yang benar-benar sempurna dan mungkin bisa dianggap sebagai "Titisan Sang Ratu Adil", "Sang Penyelamat" , yang tidak ada kekurangan apapun didalamnya. Bagi generasi sekarang yang belum pernah atau belum sempat mendengarkan sandiwara radionya ataupun melihat filmnya , mungkin bisa mengambil beberapa pembelajaran hidup yang bisa dipakai sebagai bekal dalam mengarungi hidup.
Dia digambarkan sebagai seorang sosok yang benar-benar sempurna dan mungkin bisa dianggap sebagai "Titisan Sang Ratu Adil", "Sang Penyelamat" , yang tidak ada kekurangan apapun didalamnya. Bagi generasi sekarang yang belum pernah atau belum sempat mendengarkan sandiwara radionya ataupun melihat filmnya , mungkin bisa mengambil beberapa pembelajaran hidup yang bisa dipakai sebagai bekal dalam mengarungi hidup.
Pembelajaran tentang nafsu
Dalam salah satu serialnya diceritakan Pesanggrahan kramat yang telah dibangun oleh Brama Kumbara sebagai penghormatan kepada gurunya yang bernama Kakek Astagina dan disitu disemayamkan juga jasadnya, oleh karena adanya suatu pembalasan dendam dari sebagian bangsa Kuntala yang tidak terima dengan kehancuran bangsanya akibat pembebasan bangsa-bangsa yang dulu terjajah Kuntala dan dipimpin Brama Kumbara. Mereka menghancurkan tempat pesanggrahan sang selami ini dihormati dan menjadi bagian hidup dari Brama Kumbara, sang musuh telah mempelajari titik kelamahan dari sang raja. Apa yang terjadi kemudian mudah ditebak, betapa marahnya sang raja melihat makam dan pesanggrahan yang selama ini dia agung-agungkan dan hormati dihancurkan oleh musuh. Dirinya merasa terhina, dipermalukan, sedih atas kejadian tersebut dan ingin sesegera mungkin mencari orang yang merusak pesanggrahan tersebut.
Padahal Sang Prabu selama ini dikenal sebagai seorang yang ramah, santun, adil dan semuanya yang memperlihatkan kesempurnaannya. Dari bagian cerita tersebut terlihat bahwa Sang Raja yang mungkin digambarkan sebagai seorang sosok yang sesempurna mungkin ternyata masih belum bisa terbebas dari nafsu yang terus mencari kelemahan dalam dirinya. Nafsu yang setiap saat akan menguasai dan meracuni segenap panca indra, tatkala penguasaaan/pengendalian diri akan segenap indra lemah.
Teringat lagi sebuah bagian dalam ceritera pewayangan Kresna Duta, saat Sri Krisna yang waktu itu sebagai duta perdamaian dari Pandawa datang ke Hastina untuk meminta kembali kerajaan yang telah menjadi hak Pandawa. Karena kesal atas jawaban Duryudana, kemudian Krisna bertiwikrama menjadi raksasa sebesar gunung. Tanda bahwa amarahnya telah memuncak, sampai membuat gempar suasana di Hastina dan kayangan. Nafsu telah merasuki Sang Hrisikesha, sang penguasa indra.
Belajar dari ceritera diatas dapat diambil pembelajaran bahwa penting sekali bagi kita pengendalian akan segenap indra yang kita punyai dan selalu waspada akan nafsu yang selalu mengintai. Sungguh jahat dan patut diwaspadai Nafsu yang ada di dalam diri kita masing-masing
Lampah-lumpuh
Salah satu ilmu kesaktian yang diciptakan oleh Sang Prabu adalah ilmu Lampah-lumpuh, entah artinya apa yang jelas ilmu itu diciptakannya melihat akibat dari ajian Seratjiwa yang dimilikinya. Ajian yang memiliki tingkatan dari tingkat ke-1 sampai dengan ke-10 tersebut memiliki daya hancur yang sangat menakutkan. Sehingga Sang Prabu berusaha menciptakan sebuah ilmu tingkat tinggi namun memiliki sifat yang tidak menghancurkan. Ilmu itu berkerja dengan memanfaatkan tenaga lawan. Semakin keras, kasar, jahat kekuatan lawan maka akan tersedot habis oleh ilmu tersebut sehingga lawan tidak berdaya. Mungkin kalau boleh disamakan semacam ilmu Tai Chi yang sering dilihat di film Tai Chi Master.
Dari ilmu tersebut dapat diambil pembelajaran antara lain bahwa untuk menang tidaklah harus dengan kekerasan dan kekerasan tidaklah harus dilawan dengan kekerasan. Kelemahan seseorang belum tentu menjadi kelemahan yang sebenarnya, justru dibalik kelemahan tersebut apabila dimanfaatkan sebaikmungkin akan terwujud sesuatu yang mungkin tidak bisa dilakukan orang lain. Tidak usah berkecil hati atau mempermasalahkan kelemahan yang kita miliki, semakin kita menyadari kelemahan kita maka semakin sadar pula akan kekuatan yang kita miliki.
Bobot, Bibit, Bebet
Sang Prabu Brama Kumbara mempunyai dua orang isteri yaitu Dewi Harnum dan Paramitha. Dua orang isteri yang mempunyai watak yang berbeda. Dari Dewi Harnum melahirkan putera Pangeran Wanapati yang kemudian diangkat sebagai putera mahkota, sedangkan dari Paramita tidak mempunyai keturunan karena dia menyadari akan ada masalah apabila mempunyai keturuan langsung dari Sang Prabu. Namun Paramitha sudah mempunyai dua orang anak dari suaminya yang telah meninggal yakni Garnis dan Raden Bentar. Yang menarik disini walaupun Pangeran Wanapati merupakan putra kandung dari Sang Prabu namun ternyata yang mewarisi keteladannya adalah Raden Bentar.
Mungkin kalau dalam budaya jawa dikenal istilah bobot, bibit, bebet. Bobot merupakan nilai pribadi/diri yang bersangkutan termasuk didalamnya kepribadian, pendidikan, kepandaian dan sebagainya. Bibit merupakan asal-usul/keturunan/silsilah keluarga. Bebet merupakan lingkungan dimana dia tinggal atau teman-teman pergaulannya. . Kalau dilihat dari segi bibit mungkin Pangeran Wanapati sebagai keturunan langsung Sang Prabu unggul, namun kalau dilihat secara keseluruhan Raden Bentar lah yang unggul. Akan tetapi karena sudah menjadi kebiasaan yang bisa menjadi putra mahkota adalah putra langsung Sang Prabu, maka Pangeran Wanapati yang ditunjuk sebgai Putra Mahkota.
Demikian dalam kenyataan didalam hidup seringkali masih dipakai bobot, bibit, bebet. Kalau kita memahami dengan benar falsafah tersebut maka kita akan bisa mengerti bahwa istilah tersebut sebenarnya merupakan sebuah skala prioritas , syukur bisa memperoleh ketiga-tiganya. Satu lagi yang mungkin bisa diambil dari cerita diatas, bahwa dari bibit yang bagus belum tentu keturunan yang bagus pula , belum tentu Like father like son. Tergantung masing-masing pribadi kita dalam mengambil skala prioritas.
Dari sebuah sandiwara radio yang sempat fenomenal di masa kejayaannya banyak yang bisa kita gali dan dijadikan bekal dalam menjalani hidup. Sehingga kita bisa belajar menjadi manungsa kang utomo.
dedicated to "Keshav(Dewa)", "Arjun or Sophie"
Padahal Sang Prabu selama ini dikenal sebagai seorang yang ramah, santun, adil dan semuanya yang memperlihatkan kesempurnaannya. Dari bagian cerita tersebut terlihat bahwa Sang Raja yang mungkin digambarkan sebagai seorang sosok yang sesempurna mungkin ternyata masih belum bisa terbebas dari nafsu yang terus mencari kelemahan dalam dirinya. Nafsu yang setiap saat akan menguasai dan meracuni segenap panca indra, tatkala penguasaaan/pengendalian diri akan segenap indra lemah.
Teringat lagi sebuah bagian dalam ceritera pewayangan Kresna Duta, saat Sri Krisna yang waktu itu sebagai duta perdamaian dari Pandawa datang ke Hastina untuk meminta kembali kerajaan yang telah menjadi hak Pandawa. Karena kesal atas jawaban Duryudana, kemudian Krisna bertiwikrama menjadi raksasa sebesar gunung. Tanda bahwa amarahnya telah memuncak, sampai membuat gempar suasana di Hastina dan kayangan. Nafsu telah merasuki Sang Hrisikesha, sang penguasa indra.
Belajar dari ceritera diatas dapat diambil pembelajaran bahwa penting sekali bagi kita pengendalian akan segenap indra yang kita punyai dan selalu waspada akan nafsu yang selalu mengintai. Sungguh jahat dan patut diwaspadai Nafsu yang ada di dalam diri kita masing-masing
Lampah-lumpuh
Salah satu ilmu kesaktian yang diciptakan oleh Sang Prabu adalah ilmu Lampah-lumpuh, entah artinya apa yang jelas ilmu itu diciptakannya melihat akibat dari ajian Seratjiwa yang dimilikinya. Ajian yang memiliki tingkatan dari tingkat ke-1 sampai dengan ke-10 tersebut memiliki daya hancur yang sangat menakutkan. Sehingga Sang Prabu berusaha menciptakan sebuah ilmu tingkat tinggi namun memiliki sifat yang tidak menghancurkan. Ilmu itu berkerja dengan memanfaatkan tenaga lawan. Semakin keras, kasar, jahat kekuatan lawan maka akan tersedot habis oleh ilmu tersebut sehingga lawan tidak berdaya. Mungkin kalau boleh disamakan semacam ilmu Tai Chi yang sering dilihat di film Tai Chi Master.
Dari ilmu tersebut dapat diambil pembelajaran antara lain bahwa untuk menang tidaklah harus dengan kekerasan dan kekerasan tidaklah harus dilawan dengan kekerasan. Kelemahan seseorang belum tentu menjadi kelemahan yang sebenarnya, justru dibalik kelemahan tersebut apabila dimanfaatkan sebaikmungkin akan terwujud sesuatu yang mungkin tidak bisa dilakukan orang lain. Tidak usah berkecil hati atau mempermasalahkan kelemahan yang kita miliki, semakin kita menyadari kelemahan kita maka semakin sadar pula akan kekuatan yang kita miliki.
Bobot, Bibit, Bebet
Sang Prabu Brama Kumbara mempunyai dua orang isteri yaitu Dewi Harnum dan Paramitha. Dua orang isteri yang mempunyai watak yang berbeda. Dari Dewi Harnum melahirkan putera Pangeran Wanapati yang kemudian diangkat sebagai putera mahkota, sedangkan dari Paramita tidak mempunyai keturunan karena dia menyadari akan ada masalah apabila mempunyai keturuan langsung dari Sang Prabu. Namun Paramitha sudah mempunyai dua orang anak dari suaminya yang telah meninggal yakni Garnis dan Raden Bentar. Yang menarik disini walaupun Pangeran Wanapati merupakan putra kandung dari Sang Prabu namun ternyata yang mewarisi keteladannya adalah Raden Bentar.
Mungkin kalau dalam budaya jawa dikenal istilah bobot, bibit, bebet. Bobot merupakan nilai pribadi/diri yang bersangkutan termasuk didalamnya kepribadian, pendidikan, kepandaian dan sebagainya. Bibit merupakan asal-usul/keturunan/silsilah keluarga. Bebet merupakan lingkungan dimana dia tinggal atau teman-teman pergaulannya. . Kalau dilihat dari segi bibit mungkin Pangeran Wanapati sebagai keturunan langsung Sang Prabu unggul, namun kalau dilihat secara keseluruhan Raden Bentar lah yang unggul. Akan tetapi karena sudah menjadi kebiasaan yang bisa menjadi putra mahkota adalah putra langsung Sang Prabu, maka Pangeran Wanapati yang ditunjuk sebgai Putra Mahkota.
Demikian dalam kenyataan didalam hidup seringkali masih dipakai bobot, bibit, bebet. Kalau kita memahami dengan benar falsafah tersebut maka kita akan bisa mengerti bahwa istilah tersebut sebenarnya merupakan sebuah skala prioritas , syukur bisa memperoleh ketiga-tiganya. Satu lagi yang mungkin bisa diambil dari cerita diatas, bahwa dari bibit yang bagus belum tentu keturunan yang bagus pula , belum tentu Like father like son. Tergantung masing-masing pribadi kita dalam mengambil skala prioritas.
Dari sebuah sandiwara radio yang sempat fenomenal di masa kejayaannya banyak yang bisa kita gali dan dijadikan bekal dalam menjalani hidup. Sehingga kita bisa belajar menjadi manungsa kang utomo.
dedicated to "Keshav(Dewa)", "Arjun or Sophie"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar