Minggu, 27 September 2009

Catatan Seekor Kucing

Ketika kulihat seekor kucing yang sedang asyik bercermin di depanku, aku merasa geli dan sedikit terlintas di pikiranku sesuatu hal yang selama ini seringkali kudengar dari teman-temanku. Kata-kata yang seringkali terucap apabila mendengar seuatu yang tidak disetujui mengani dirinya semisal "Aku ini anak Setu Paing, jadi ya beginilah diriku watakku. Aku tidak bisa untuk menjadi seperti itu. Pokoknya ya kayak gini, itulah diriku" kata temenku sambil agak ngotot atau "Aku ini Shio Macan, watakku keras tidak mau diatur, jadi jangan ngatur diriku ya," kata temenku lainnya. Masih banyak kata-kata lainnya dengan alasan-alasan seperti itu dari mulai hari lahir, shio, mangsa sampai dengan alasan lainnya yang seolah-olah bisa menjadi alasan mereka dan juga terkadang diriku seringkali terlena hal-hal seperti itu.

Menipu orang lain dengan berbagai alasan diatas memang seringkali mudah, namun apakah memang benar hal itu bisa menjadi alasan yang menjadikan diri kita benar? Apakah hal itu bukan merupakan sesuatu bagian dimana kita juga berusaha menipu diri sendiri? Apakah selamanya cara-cara seperti itu akan digunakan kawanku? Segala macam atribut yang seringkali digunakan sebagai alasan akan lebih bijak bila dianggap sebagai sebuah "parameter " yang bisa digunakan untuk mengenal diri kita, membantu dalam bercermin. Semakin kita mengenal dan memahami parameter yang ada dan semakin kita mengenal diri kita maka seharusnya kita semakin paham akan profil diri kita. Profil diri yang pasti memilki sisi positif dan negatif yang masing-masing orang berbeda-beda. Tinggal kemauan dan kesadaran dari masing-masing orang, apakah akan menambah sisi positif yaang dimilikinya dengan terus belajar dan meng upgrade dirinya ataukah akan terus menambah sisi negatif dengan terus menjadikan segala hal yang semula merupakan parameter untuk menjadikan pembenaran dirinya. Dibutuhkan keberanian untuk berdamai dan menerima dengan ikhlas profil diri yang sebenarnya. Sebuah profil diri yang benar-benar mencerminkan diri kita sendiri, dan tidak berusaha untuk mencontek ataupun menjadi profil orang lain.

Semoga dengan adanya keberanian, kemauan, kesabaran, keikhlasan diri kita masing-masing dapat membuat profil diri yang sejati dan dapat menjadi seorang manusia dengan cara-cara yang lebih manusia.







Rabu, 23 September 2009

Kura-kura dan Gembala

Sekali waktu pernah kuperhatikan reptil yang ada di rumah, binatang kura-kura atau kuya-kuya (kata anakku yang masih belajar ngomong). Dengan tenangnya dia berenang-renang di kolam sambil mencari makanan yang ada. Tatkala ada sedikit yang mengejutkan dirinya maka akan ditariknya kepalanya kedalam tempurungnya, terkadang kaki-kakinya ditariknya pula. Betapa tenangnya dirinya berada dalam tempurungnya, karena dia yakin akan kekuatan yang ada dalam dirinya. Dengan kesadaran pula kita dapat belajar untuk seperti kura-kura berusaha untuk menarik dan menguasai segenap panca indra yang ada di diri kita, tangan, kaki, mata, mulut, telinga, hidung dan segenap yang ada yang dalam badan kita. Kita kenali semuanya, pikiran kita pun kita pelajari hingga akhirnya kita dapat belajar menyelami betapa liarnya pikiran kita. Dengan kesadaran untuk belajar menyelami pikiran kita dan belajar menguasai segenap indra kita, mudah-mudahan akan semakin membangkitkan kesadaran hidup dan pengendalian diri serta kitapun semakin bijak dalam menjalani hidup.

Begitu juga dengan seorang gembala itik, sungguh tidak mudah untuk menggembalakan sekawanan itik terkadang ada satu atau dua ekor itik yang susah untuk diaturnya. Dengan sabarnya dia menggembalakan itiknya, dan kalaupun ada satu-dua yang melenceng jalannya dan hilang maka dia akan berusaha untuk meluruskan dan mencarinya dan mengarahkan hingga semuanya sampai ketujuan. Kalaupun ada satu yang sakit diapun akan mengobatinya hingga sembuh. Seperti seorang gembala kitapun juga bisa belajar untuk menggembalakan segenap panca indra kita dan pikiran kita. Terkadang perut ingin makanan namun mulut rasanya malas untuk mengunyahnya. Terkadang ingin main namun kaki terasa berat untuk melangkah. Menggembalakan segenap indra dan pikiran kita dibutuhkan sebuah kesadaran dan kesabaran serta kemauan untuk terus belajar. Mencoba belajar untuk menggembalakan segenap ego dan ke-Aku-an yang ada dalam diri kita dibutuhkan keberanian. Belajar untuk melayani dengan ketulusan sungguh mengagumkan. Minimal belajar untuk menjadi seorang gembala bagi diri kita dahulu. Kemudian bisa diperluas menjadi gembala bagi keluarga dan lingkungan sekitar kita, apabila kita sadar kalau kita mampu menjadi seorang gembala yang sejati.

Sebuah cacatan perjalanan mencari kesadaran dari seekor kura-kura dan seorang penggembala itik

Rabu, 09 September 2009

Ketika Duka Itu Datang

Orang yang dilanda duka selalu ber­usaha untuk menghindarkan rasa duka itu dengan erbagai macam hiburan berupa kesenangan maupun hiburan, baik hiburan berupa kesenangan maupun hiburan berupa pelarian diri kepada filsafat-filsafat atau petuah-petuah yang menghibur. Atau ada pula yang menyerah dan taluk membiar­kan dirinya tenggelam ke dalam duka sampai menjadi putus asa, bunuh diri menjadi gila dan sebagainya. Namun, segala macam pelarian tidak mungkin membebaskan kita dari duka. Mengapa? Karena duka adalah kita sendiri. Duka adalah kita, yang ingin melarikan diri itu pula. Duka tidak terpisah dari kita sen­diri, takkan dapat kita tinggalkan, ke manapun kita melarikan diri. Jika kita menutupinya dengan berbagai hiburan, baik hiburan badaniah maupun batiniah, maka penutupan itu hanya sementara saja. Si duka masih ada, kadang-kadang menyelinap ke bawah sadar dan selalu menghantui kehidupan kita.


Lalu bagaimana agar kita benar-benar terbebas dari pada duka? Terbebas dari pada kecewa? Tanpa menyerah dan ta­luk? Pertanyaan ini perlu kita ajukan kepada diri kita masing-masing, karena tanpa menyelidiki hal ini sedalam-dalam­nya, kehidupan kita akan selalu penuh dengan kecewa dan duka sepanjang hidup, hanya dengan adanya kesenangan sekilas lintas sebagai selingan lemah saja.


Kecewa bukanlah akibat dari peris­tiwa di luar diri, melainkan seuatu pro­ses dari penilaian pikiran atau si aku. Pikiran membentuk suatu gambaran ten­tang diri sendiri, yaitu si aku yang selalu menginginkan hal-hal yang menyenangkan. Keinginan-keinginan untuk senang ini kalau tidak tercapai akan menimbulkan kekecewaan. Keinginan-keinginan itu dapat juga dinamakan harapan-harapan berlangsungnya sesuatu yang telah ter­jadi. Pikiran atau gambaran si aku ini tak terpisahkan dari kenang-kenangan akan kesenangan yang menimbulkan ikat­an kuat sekali. Si aku terikat erat dengan kesenangan, baik kesenangan badani maupun rohani, dan kalau ikatan itu putus, akan menimbulkan rasa sakit. Kalau kesenangan dijauhkan dari si aku, maka si aku merasa sakit, kecewa, dan duka. Lalu si aku pula yang menilai bahwa duka amat tidak enak, maka si aku pula yang berusaha melarikan diri dari kecewa dan duka itu, dengan ber­bagai macam hiburan lahir maupun batin. Padahal, sang suka itu ya si aku itu juga, yang agar tidak ingin duka. Dengan begini, tercipta lagi suatu keinginan lain, yaitu ingin tidak duka! Betapa berbelit-belitnya pikiran ini bekerja, betapa licinnya.


KITA akan menjadi permainannya, diombang-ambingkan oleh permain­an pikiran yang membentuk si aku. Si aku selalu mengejar senang, selalu menjauh­kan yang tidak enak. Mula-mula meng­inginkan kesenangan, lalu tidak tercapai, lalu kecewa dan duka, lalu menganggap kecewa dan duka tidak enak, lalu ingin lari dari itu pula, bukan lain karena ingin agar senang, agar terlepas dari keadaan yang tidak enak itu. Dan demikian seterusnya. Padahal, justeru keingin­an untuk lari dari duka inilah yang memberi pupuk dan memperkuat adanya duka! Karena memperkuat si aku, me­nambah subur keinginan-keinginan si aku.


Habis bagaimana? Kalau tidak melari­kan diri dari duka, kalau tidak mencari hiburan dari duka lalu apakah kita harus menerima begitu saja, membiarkan duka menenggelamkan kita? Sama sekali tidak demikian, karena sikap “menerima nasib” ini hanya akan mendatangkan kelemahan jiwa, membuat orang menjadi frustasi dan apatis, menjadi masa bodoh! ini mendatangkan kemalasan dan mengurangi semangat atau gairah hidup!


Kalau datang kecewa? Kalau datang rasa duka? Pernahkah kita MENGHADAPINYA? Bukan membiarkan pikiran sibuk sendiri, memikirkan hal-hal yang menim­bulkan, kecewa dan duka itu, melainkan menghadapi dan mengamati perasaan kecewa atau duka itu dengan penuh per­hatian, penuh kewaspadaan dan tidak lari daripadanya? Beranikah kita mengamati diri sendiri ketika kecewa atau duka datang, mengamati tanpa penilaian baik atau buruk, tanpa keinginan melenyapkannya, melainkan hanya pengamatan saja yang ada? Bukan si aku yang mengamati luka, karena kalau begitu, tentu akan timbul penilaian dan tanggapan dari si aku dan kita kembali terseret ke dalam iingkaran setan dari permainan si aku lagi. Yang ada hanya kewaspadaan saja, pengamatan penuh perhatian, tanpa pamrih apa pun melainkan hanya kewas­padaan. Maukah dan beranikah kita men­cobanya? Mungkin hanya inilah rahasia pemecahannya, tanpa teori melainkan harus dihayati oleh diri masing-masing.

(diambil dari Serial Suling Emas dan Naga Siluman karya Kho Ping Hoo)


Senin, 07 September 2009

Tak Ada Yang Abadi


Pada saat menjelang puasa dua orang sepupu yang telah lama tidak bertemu sehabis nyekar ke makam lelulurnya bertemu di rumah neneknya. Mereka habiskan waktu untuk menceritakan pengalamannya merantau selama ini. Kedua sepupu tersebut mempunyai jalan hidup yang berbeda, yang satu sebagai seorang gigolo dan satunya sebagai seorang yang suka berderma. Namun pada saat bertemu di rumah neneknya keduanya sedang dalam kondisi titik nol alias hancur, apa yang selama ini mereka miliki karena suatu hal musnah sudah.

Si gigolo , karena memiliki wajah dan badan yang atletis tentu tidak susah untuk memerankan perannya . Dengan mudahnya dicarinya pelanggan-pelanggan kelas atas, tante-tante kesepian dan wanita single yang tidak segan-segan mengucurkan uang demi kenikmatan sesaat yang diperolehnya. Namun ada yang aneh pada anak tersebut, uang dan harta yang selama ini diperolehnya dinikmati sebagian, dan sebagian besar dia bagi-bagikan kepada yang membutuhkan pertolongannya. Sungguh sebuah jalan hidup yang mungkin terasa aneh.

Si penderma, anaknya memang baik hati suka, santun, menolong sesama yang sedang kesusahan. Karier di juga cukup bagus kalau tidak mau dikatakan sebagai sukses. Setiap kali ada yang membutuhkan pertolonganya dia tidak ragu-ragu untuk menolongnya. Namun dibalik semua yang dia lakukan ternyata ada sesuatu dibalik itu semua. Berbagai pujian dan prestasi yang selama ini diperolehnya membuat dirinya terlena, sehingga dia melakukan perbuatan tersebut namun dia juga mengharapkan dengan sangat adanya pujian dan harapan agar kariernya semakin menanjak. Apapun akan dia dermakan asal dia memperoleh manfaat dari semua itu. Segala tipu daya dimilikinya dibalik wajahnya dan sifatnya yang suka berderma.

Sebuah jalan yang saling berbeda diantara keduanya, saling bertolak belakang. Namun ternyata memiliki kesaman bahwa saat ini mereka tidak memiliki apa yang selama ini dibanggakannya, harta, kebanggan, harga diri telah musnah. Dalam keadaan yang sama, sama-sama menderita menghapus semua perbedaan yang selama ini mereka anggap benar. Saking akrabnya mereka ngobrol, tanpa menyadari neneknya yang memperhatikan dengan seksama obrolan kedua cucunya. Dia simak baik-baik, sambil diselesaikannya kelontong ketupat yang akan dimasaknya dan dijualnya di pasar. Memang sang nenek walaupun sudah berumur, penglihatan yang sudah mulai berkurang namun semangat bekerjanya masih tetap ada. Tiap hari sang nenek membuat ketupat dan pulang berjualan biasanya memberikan oleh-oleh buat cucu dan cicitnya semisal nasi jagung, nasi urap, jenang blendung, clorot, timus dan segala macam jajanan pasar. Menu makanan desa yang slalu membuat cucu dan cicitnya datang.

Sang nenek sambil merapikan kelontongan ketupat kemudian menyapa cucunya, ” Ngger cucuku, kesini nak. Nenek turut bersedih mendengar cerita kalian. Nenek bersedih bukan karena sekarang kalian tidak punya apa-apa lagi. Buat kamu cucuku aku tidak pernah menilai seseorang dari pekerjaannya, semuanya sama saja. Kalian bisa saja menipu orang lain, namun kalian tidak akan bisa menipu dirimu sendiri, hati kecil kalian tidak akan bisa kalian tipu. Kamu menjadi gigolo memang benar hasilnya tidak kamu nikmati sendiri, namun kamu juga sudah turut larut kedalam kenikmatan seksual dan kenikmatan duniawi yang selama ini kamu terima. Ini tidak bisa kamu sembunyikan. Nenek akan senang apabila kamu bisa memasuki daerah kegelapan namun kamu bisa memberikan pelita bagi kegelapan, kamu berikan cahayamu sehingga wanita-wanita yang selama ini mencari kenikmatan sesaat menjadi tersadar dan tidak melakukan perzinahan. Kalau kamu memang mau memasuki jalan kegelapan, kuatkan dirimu, jagalah cahayamu jangan sampai mati, usahakan terus kau jaga nyalanya, berikan slalu terang dimanapun kamu berada.” kata nenek itu kepada cucunya yang menjadi gigolo.

”Kemudian kamu cucuku, aku juga sedih karean ternyata dibalik sifat kedermawanamu masih melekat ke-aku-an yang begitu kuat, alangkah membahayakan dirimu terbelenggu oleh pujian dan keegoisan yang selama ini menyelimutimu. Bebaskan dirimu dari semua nafsu yang selama ini menguasaimu, lakukan semuanya tanpa kemelekatan. Segala pujian dan harapan yang selama ini kau dambakan harus kau buang jauh-jauh, jalankan semuanya dengan penuh keikhlasan, sama seperti sepupumu terus kau nyalakan lilinmu dengan kemauan untuk terus melumerkan lilinmu. Kalau kamu tidak mau membagikan sedikit harapan dan terangmu maka lilinmu pasti tidak mau menyala. Jalan yang kau pilih memang jalan terang yang kalau tidak kau jaga lilinmu maka kau akan disilaukan oleh terang jalan. ” kata sang nenek kepada cucu yang satunya

”Jalan kegelapan, jalan remang-remang, dan jalan terang pasti akan terus kalian lalui tergantung pilihan kalian. Siapkan diri kalian dan jangan lupa untuk selalu tersadar, jagalah selalu nyala lilin yang ada didirimu, berikan semuanya dengan penuh keikhlasan, belajarlah untuk menjadi seputih merpati namun selicik ular, dan belajarlah untuk menghindari keterikatan dan kemelekatan ke hal-hal yang bersifat didunia ini. Tiada yang abadi yang abadi hanyalah jiwa-jiwa kalian. Kalian beserta semua cucu dan cicitku , kupercaya mempunyai cahaya lilin yang ada didalam dirimu dan kupercaya bisa memberikan nyala terang yang nenek banggakan. Jangan lupa mengucapkan syukur dan eling marang sing gawe urip. Nenek hanya bisa memberikan apa yang nenek bisa berikan selanjutnya terserah kalian. Sejelek apapun kalian, tetap cucu-cucu nenek yang kusayangi.” kata sang nenek sambil tersenyum

”Kalau tiba saatnya nati nenek dijemput ajalnya aku ingin kalian dan semuanya jangan menangisinya. Kematian bukalah hal yang perlu kalian tangisi dan ratapi, ketika ada kematian pasti ada kelahiran. Terimalah dalam porsi yang sama saat kalian sedih ingatlah saat senang, saat menerima kesulitan seperti sekarang ini ingatlah saat betapa kalian pernah memperoleh berbagai kemudahan. Jalani semuanya, dan teruslah belajar. Ngelmu iku kalakone kanthi laku ngger.”

Kedua cucunya mendengarkan dengan seksama dan setelah waktu liburan nyadrannya habis merekapun pulang ke tempat mereka semula. Dua bulan kemudian sang nenek meninggal dalam keadaan tenang, tersungging senyum di bibirnya. Terlihat wajah yang damai, dan bagi kedua cucunya sang nenek masih tetap hidup didalam hati mereka, tetap selalu menyertai langkah-langkah mereka. Kematian tidaklah memisahkan mereka dengan sang nenek. Dan mereka pun terus menjalani hidup sambil mengikuti yang dikatakan neneknya.


Takkan selamanya tanganku mendekapmu. Takkan selamanya raga ini menjagamu. Seperti alunan detak jantung, ku tak bertahan melawan waktu. Dan s'mua keindahan yang memudar atau cinta yang t'lah hilang, Biarkan aku bernafas sejenak, sebelum hilang. Takkan selamanya tanganku mendekapmu, Takkan selamanya raga ini menjagamu. Jiwa yang lama segera pergi. Bersiaplah para pengganti.Tak ada yang abadi (By Peterpan)

Im memoriam :eyang uti
Tak sempat kubahagiakan dirimu

Kamis, 03 September 2009

Ayam Dan Pasangan Jiwa


Kadangkala aku bertanya dimana cinta berada, tersembunyi tiada kunjung menghampiri. Dua angsa memadu rindu di danau biru bercumbu, pagut sepi ku di sini letih hati. Begitu jauh waktu ku tempuh sendiri mengayuh biduk kecil, hampa berlayar akankah berlabuh ? hanya diam menjawab kerisauan. Kadangkala aku berkhayal seorang di ujung sana juga tengah menanti tiba saatnya . Begitu ingin berbagi batin mengarungi hari yang berwarna dimana dia pasangan jiwaku ? ku mengejar bayangan kian menghilang penuh berharap (Pasangan Jiwa by Katon Bagaskara)

Ditengah pekarangan rumah terlihat seekor burung merpati jantan dan sahabatnya seekor ayam jantan bangkok sedang asik mengobrol. Keduanya merupakan dua orang sahabat yang saling mengerti satu sama lain, terkadang keduanya memecahkan masalah pribadi masing-masing berdua terutama sekali si ayam selalu punya masalah. Dan saat ini dia sedang ada masalah tentang pasangan jiwanya.

"Gimana ya kawan, dimana harus kutemukan ayam betina yang bisa menjadi pasangan jiwaku?" tanya ayam
"Lha bukannya banyak ayam disini, mau jenis yang mana. Tinggal dipilih saja lalu kawin seperti biasanya kamu lakukan, gitu aja kok repot." jawab merpati
"Bosan kawan, mosok kawin, putus, kawin gitu terus." jawab ayam, kemudian dia menceritakan pengalaman kawinnya.

Kawin pertama dengan ayam arab (ayam yang warnanya blirik), mula mula di tertarik dengan bodynya yang menarik, bikin kesengsem. Namun ternyata setelah kawin suka ngatur dirinya sehingga ditinggalkannya. Kawin kedua ditemukannya ayam trondol (ayam yang bulunya sedikit), kembali lagi dia terjebak dengan nafsunya kemolekan dan balutan pakaian mini yang membalut tubuhnya membuatnya tertarik, namun ternyata dia cuma diporotin hartanya dan akhirnya putus di tengah jalan. Kawin ketiga dia kecantol dengan ayam cemani, ternyata dibalik kulitnya yang hitam manis tersembunyi sosok yang mau menang sendiri, susah diatur dan belum bisa diajak untuk hidup berumah tangga. Rasa cemburu selalu menghantui hubungannya, tiada rasa saling percaya, saling curiga hingga akhirnya putus juga. Kawin keempat dicarinya ayam mutiara yang dari segi body menarik terlihat santun, manutan, tidak aneh aneh namun ternyata suka selingkuh sehingga dia tidak kuat dan ditinggalkannya. Begitu seterusnya dicarinya jenis ayam lainnya semisal ayam hutan merah, ayam hutan hijau, ayam kinantan , ayam sumatra dan sebagainya namun tidak ditemukannya apa yang benar-benar dicarinya. Begitu banyak harapan yang diinginkannya dari pasangannya dari yang penyabar, agamis, santun, lemah lembut, penyayang, pengertian pokoknya segala kebaikan yang diinginkan, sedangkan yang jelek tidak mau diterimanya. Sampai dengan orientasi sex yang dia inginkan dari kamasutra, treesome dan sebagianya, semua yang diinginkan harus ada dalam diri pasangannya.

Lama si ayam menceritakan kepada kawannya, merpati pun dengan seksama mendengarkan apa yang di ceritakan sobatnya. Hingga akhirnya diapun mengeluarkan pendapatnya

"Begini lho sobat, aku bisa memahami apa yang selama ini kamu cari-cari. Memang hal yang lumrah kalau kamu berusaha mencari ayam yang sesuai dengan kriteria yang kamu inginkan , dengan kesempurnaan yang kamu bayangkan. Namun apakah ada ayam yang 100% sempurna dengan tidak adanya kejelekan yang ada di dalamnya, aku rasa sangat tidak mungkin ditemukan. Kemudian dirimu sendiri apakah juga sesempurna yang seperti kriteriamu, aku rasa juga tidak. Banyak kejelekan yang selama ini melekat didirimu yang mungkin selama ini kamu sadari atau tidak. Sungguh tidak adil apabila kamu menginginkan pasanganmu sesempurna mungkin namun dirimu juga tidak belajar untuk menjadi sempurna. Tidak ada yang bisa sesempurna 100% namun kuyakin tiap makhluk bisa belajar untuk bisa mendaki kesempurnaan. Kebaikan dan kejelekan tetap akan melekat dalam diri tiap makhluk, tinggal kesadaran tiap makhluk untuk menyadari kebaikan dan kejelekan yang ada. Saling menerima kebaikan dan kejelekan, saling melengkapi, saling mengisi dan saling percaya harus ditumbuhkan dalam dirimu dan pasanganmu. Belajarlah untuk selalu berjalan beriringan, sejajar, tiada yang merasa menang atau kalah dalam menempuh hidup. Kalau kamu terjatuh pasanganmu berusaha untuk mengangkat dan menggendongmu, begitu juga sebaliknya. Berusaha untuk menerima, memberi tanpa harus ingin mengubah seperti yang kau mau biarlah seperti apa adanya. Kalau kamu bisa menyadarinya aku yakin akan kau temukan pasangan jiwa yang telah menunggumu.

Kemudian merekapun melanjutkan obrolannya, dan karena sudah sore merpati pamit ke sobatnya untuk kembali kerumahnya bertemu dengan pasangan dan anak-anaknya. Diceritakan kepada pasangannya apa yang barusan dibicarakan dengan sobatnya ayam. Merpati betina hanya tresenyum mendengar cerita pasangannya, dihadiahinya dengan ciuman kanan-kiri dan saling berpelukan.

"Aku sungguh berbahagia akhirnya menemukanmu, sebuah anugrah terindah yang kuterima diberi kesempatan untuk hidup bersama denganmu. Kau mau menerima diriku dengan segala kekurangannya yang melekat didiriku, darimu kubelajar banyak tentang bagaimana seharusnya menjalani hidup. Saat kuterjatuh kau selalu setia mendapingiku, kau tutupi kelemahanku dengan kelebihanmu. Terkadang ada saatnya aku harus berada di barisan terdepan namun ada kalanya dirimu mengambil alih untuk berada di depan. Selalu bergandengan, sambil sesekali diperlukan sedikit perselisihan dan perbedaan sebagai bumbu agar perjalanan tidak terasa hampa. Kauberikan pelita-pelita kecil sebagai anugrah yang menemani langkah kita berdua." kata sang merpati jantan.

Waktu terus berlalu sejak di hari itu, engkau dan aku menyulam janji, berbagi hidup ini. Meski orang mengira kita 'tak akan lama, tapi ternyata senyuman cinta terus mekar di jiwa. Kau yang s'lalu di sampingku membelai saat tidurku, tempat curahan rasa, satu-satunya kini sampai s'lamanya . Masih tumbuh dan segar wangi kasih menyebar, semakin kuat hasrat melekat cinta kita berdua, menggelora (Mekar di jiwa by Katon Bagaskara)

Dedicated to my wife and two my little Krishna