Orang yang dilanda duka selalu berusaha untuk menghindarkan rasa duka itu dengan erbagai macam hiburan berupa kesenangan maupun hiburan, baik hiburan berupa kesenangan maupun hiburan berupa pelarian diri kepada filsafat-filsafat atau petuah-petuah yang menghibur. Atau ada pula yang menyerah dan taluk membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka sampai menjadi putus asa, bunuh diri menjadi gila dan sebagainya. Namun, segala macam pelarian tidak mungkin membebaskan kita dari duka. Mengapa? Karena duka adalah kita sendiri. Duka adalah kita, yang ingin melarikan diri itu pula. Duka tidak terpisah dari kita sendiri, takkan dapat kita tinggalkan, ke manapun kita melarikan diri. Jika kita menutupinya dengan berbagai hiburan, baik hiburan badaniah maupun batiniah, maka penutupan itu hanya sementara saja. Si duka masih ada, kadang-kadang menyelinap ke bawah sadar dan selalu menghantui kehidupan kita.
Lalu bagaimana agar kita benar-benar terbebas dari pada duka? Terbebas dari pada kecewa? Tanpa menyerah dan taluk? Pertanyaan ini perlu kita ajukan kepada diri kita masing-masing, karena tanpa menyelidiki hal ini sedalam-dalamnya, kehidupan kita akan selalu penuh dengan kecewa dan duka sepanjang hidup, hanya dengan adanya kesenangan sekilas lintas sebagai selingan lemah saja.
Kecewa bukanlah akibat dari peristiwa di luar diri, melainkan seuatu proses dari penilaian pikiran atau si aku. Pikiran membentuk suatu gambaran tentang diri sendiri, yaitu si aku yang selalu menginginkan hal-hal yang menyenangkan. Keinginan-keinginan untuk senang ini kalau tidak tercapai akan menimbulkan kekecewaan. Keinginan-keinginan itu dapat juga dinamakan harapan-harapan berlangsungnya sesuatu yang telah terjadi. Pikiran atau gambaran si aku ini tak terpisahkan dari kenang-kenangan akan kesenangan yang menimbulkan ikatan kuat sekali. Si aku terikat erat dengan kesenangan, baik kesenangan badani maupun rohani, dan kalau ikatan itu putus, akan menimbulkan rasa sakit. Kalau kesenangan dijauhkan dari si aku, maka si aku merasa sakit, kecewa, dan duka. Lalu si aku pula yang menilai bahwa duka amat tidak enak, maka si aku pula yang berusaha melarikan diri dari kecewa dan duka itu, dengan berbagai macam hiburan lahir maupun batin. Padahal, sang suka itu ya si aku itu juga, yang agar tidak ingin duka. Dengan begini, tercipta lagi suatu keinginan lain, yaitu ingin tidak duka! Betapa berbelit-belitnya pikiran ini bekerja, betapa licinnya.
KITA akan menjadi permainannya, diombang-ambingkan oleh permainan pikiran yang membentuk si aku. Si aku selalu mengejar senang, selalu menjauhkan yang tidak enak. Mula-mula menginginkan kesenangan, lalu tidak tercapai, lalu kecewa dan duka, lalu menganggap kecewa dan duka tidak enak, lalu ingin lari dari itu pula, bukan lain karena ingin agar senang, agar terlepas dari keadaan yang tidak enak itu. Dan demikian seterusnya. Padahal, justeru keinginan untuk lari dari duka inilah yang memberi pupuk dan memperkuat adanya duka! Karena memperkuat si aku, menambah subur keinginan-keinginan si aku.
Habis bagaimana? Kalau tidak melarikan diri dari duka, kalau tidak mencari hiburan dari duka lalu apakah kita harus menerima begitu saja, membiarkan duka menenggelamkan kita? Sama sekali tidak demikian, karena sikap “menerima nasib” ini hanya akan mendatangkan kelemahan jiwa, membuat orang menjadi frustasi dan apatis, menjadi masa bodoh! ini mendatangkan kemalasan dan mengurangi semangat atau gairah hidup!
Kalau datang kecewa? Kalau datang rasa duka? Pernahkah kita MENGHADAPINYA? Bukan membiarkan pikiran sibuk sendiri, memikirkan hal-hal yang menimbulkan, kecewa dan duka itu, melainkan menghadapi dan mengamati perasaan kecewa atau duka itu dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan tidak lari daripadanya? Beranikah kita mengamati diri sendiri ketika kecewa atau duka datang, mengamati tanpa penilaian baik atau buruk, tanpa keinginan melenyapkannya, melainkan hanya pengamatan saja yang ada? Bukan si aku yang mengamati luka, karena kalau begitu, tentu akan timbul penilaian dan tanggapan dari si aku dan kita kembali terseret ke dalam iingkaran setan dari permainan si aku lagi. Yang ada hanya kewaspadaan saja, pengamatan penuh perhatian, tanpa pamrih apa pun melainkan hanya kewaspadaan. Maukah dan beranikah kita mencobanya? Mungkin hanya inilah rahasia pemecahannya, tanpa teori melainkan harus dihayati oleh diri masing-masing.
(diambil dari Serial Suling Emas dan Naga Siluman karya Kho Ping Hoo)