Kamis, 28 Januari 2010

Indahkah dan bagaimana kujalani hidup ini?

Hidup adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban. Kewajiban sebagai seorang ayah atau ibu, sebagai seorang anak, sebagai seorang saudara, sebagai seorang sahabat, sebagai seorang warga negara, sebagai seorang manusia. Semua kewajiban harus dilaksanakan sebaik mungkin menjadi ayah yang baik, menjadi ibu yang baik, menjadi anak yang baik dan seterusnya. Dan untuk melaksanakan kewajiban dengan sebaiknya kita harus berusaha, berikhtiar sekuat kemampuan kita.
 
Menyerahkan diri lahir batin kepada Tuhan bukan berarti kita lalu tidak acuh, bukan berarti kepasrahan yang pasif atau penyerahan yang mati. Kita wajib berikhtiar, berusaha sekuat kemampuan kita. Namun semua usaha itu didasari kepasrahan, penyerahan kepada Tuhan dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Kepasarahan yang disertai keyakian sebualatnya bahawa Tuhan pasti akan memberi bimbingan kepada kita, dalam keadaan bagaimanapun juga.
 
Yang mendorong kita bergerak dalam kehidupan ini adalah nafsu-nafsu kita. Tanpa adanya nafsu, kita tidak mungkin hidup sebagai manusia yang demikian maju dalam keduniawian. Akan tetapi, tanpa bimbingan Tuhan, tanpa adanya Kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam diri kita, kita dapat terseret oleh nafsu-nafsu kita sendiri yang mengakibatkan kehancuran lahir batin. Jiwa kita akan tertutup dan tak tampak siniarnya seperti sinar matahari yang tertutup awan mendung. Namun, dengan Kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam diri kita, Kekuasaan yang membimbing, digerakkan oleh kepasrahan kita yang total, maka nafsu-nafsu kita tidak akan meliar dan bersimaharajalela! Hanya Tuhan yang dapat menjinakkan daya-daya rendah sehingga nafsu-nafsu itu kembali kepada fungsinya semula, yaitu menjadi peserta dan pelayan kita dalam kehidupan di dunia ini.
 
Betapa mudahnya semua itu dipikirkan dan dibicarakan, namun betapa sukarnya untuk menyerah! menyerah lahir batin, berarti penyerahan tanpa ikutnya hati akal pikiran karena kalau yang menyerah itu hati akal pikiran, pasti disitu muncul pamrih. Menyerah agar begini atau begitu, pokoknya agar menguntungkan lahir ataupun batin. Penyerahan seperti itu jelas bukan penyerahan namanya, melainkan penyuapan! penyogokan! Menyogok dengan kepasrahan untuk mendapatkan sesuatu tentu saja menyenangkan dan menguntungkan.
 
Nafsu yang dibiarkan meliar melahirkan keinginan-keinginan. Keinginan akan sesuatu yang lebih membuat apa saja yang didapatkan kehilangan keindahannnya sehingga kita tidak lagi dapat menikmati apa yang telah kita dapatkan. Ini berarti bahwa kita tidak dapat mensyukuri apa yang diberikan Tuhan kepada kita. Karena keinginan untuk mendapatkan yang lebih membuat apa yang berada di tangan tampak tidak berharga, tidak cukup dan kurang menyenangkan. Keinginan akan hal yang lebih membuat kita tidak pernah dapat merasakan kepuasan. keinginan jugalah yang menyeret kita untuk melakukan pengejaran dan seringkali terjadi, dalam pengejaran ini kita lupa diri, memntingkan pengejarannya sehingga menghalalkan segala cara. Padahal, bukan TUJUAN yang terpenting , melainkan CARA mencapai tujuan.
Berbahagialah orang tidak mengejar keinginan apapun juga, karena orang demikian itu akan selalu menerima apa yang ada dengan penuh rasa sukur dan berterima kasih kepada Tuhan. Orang demikian itu meleihat keindahan pada apa yang didapatkannya dan dapat menikmati segala macam hasil pekerjaannya.
 
Semoga semua makhluk berbahagia.

dikutip dari Pecut Sakti Bajrakirana karangan Asmaran S Kho Ping Hoo




Senin, 25 Januari 2010

If

Sesosok makhluk terdiam, teronggok di tengah lapangan. Membisu seperti arca, namun ternyata mengusik alam sekitar. Kemapanan, kenyamanan,  ketentraman yang selama ini tercipta seolah-olah terganggu oleh sesosok yang muncul dihadapan mereka. Rasa ingin tahu yang ada di dalam masing-masing makhluk begitu besar, mengusik dan mendorong keinginan. Semakin lama dipendam rasa itu, semakin merasuk kedalam pikiran hingga timbulah perbuatan.

Masih terdiam sosok itu, hingga timbul rangsangan atas perbuatan makhluk disekitarnya. Karena dianggap sebagai gangguan maka timbulah penyerangan  ke sosok itu yang dibalas dengan penyerangan yang lebih kuat. Semakin besar daya serang yang diberikan, semakin besar pula serangan balik yang diberikan. Bahkan sesorang yang selama ini mereka anggap sebagai Dewa Penolong tidak sanggup juga untuk mengatasi sosok misterius itu. Kekacauan dan kehancuran ditimbulkan akibat serangan saling balas. Tiada lagi yang tersisa hanya berbekal rasa ingin .

Di saat suasana demikian mencekam, seorang anak kecil yang sedang berputus asa karena kehilangan penglihatannya hanya bisa menangisi nasib yang menimpanya. Rasa  kecewa, marah atas keadaannya. Diapun melangkah mendekati sumber kehancuran tempat sosok itu berada. Dikeluarkannya seruling dan diapun meniup seruling itu dengan perasaan kesedihan yang mendalam. Begitu hening hanya suara seruling yang menyayat.   Sebuah keajaiban tercipta, sosok misterius itupun terbangun dari tidurnya mendengar suara seruling itu. Timbul aksi balasan atas suara seruling yang ditangkapnya, seketika ditubuhnya keluar banyak seruling yang mampu  mengeluarkan nada. Semakin lama anak itu meniup seruling, makin banyak bagian sosok itu tumbuh aneka peralatan musik sehingga mengeluarkan simfoni musik yang merdu. Hilang sudah bagian tubuh sosok itu yang tadinya ditumbuhi peralatan akibat kekerasan yang diterimanya, menjadi sesosok dewi yang sedang memainkan musik di tubuhnya sebagai efek musik yang diterima. Kelembutan yang diterimanya direspon dengan kelembutan yang dipancarkan seribu kali lebih besar dari yang diterima.

Seringkali disaat kita bertemu atau menemukan sesuatu, timbul sesuatu yang hadir di pikiran menanggapi obyek yang ada. Pertanyaan seperti apakah itu ? siapa dia ? mengapa dia ada disini?  hingga  Tak nyaman diriku dengan adanya dia atau itu disini? Aku merasa terganggu dengan kehadirannya, sebaiknya dia pergi dari sini. Begitu banyak pertanyaan dan pemikiran yang ditimbulkan karena adanya suatu sosok yang mungkin asing bagi kita yang seringkali mempengaruhi cara pandang dan mengambil sikap yang seharusnya. Padahal mungkin kalau kita bisa membaca pikiran sosok itupun mungkin pertanyan seperti yang kita pikirkan juga bisa saja muncul di dirinya, mengapa dirinya menganggap aku seperti penggganggunya? mengapa sepertinya aku harus pergi , bukankah aku ada dengan tujuan baik mengapa justru aku dijauhi, haruskah kubalas kejahatan dan kedengkian yang kuterima dengan kejahatan yang lebih lagi. Kenapa dia, kenapa?

Tidak bisakah obyek yang ada dilihat hanya sekedar dilihat? Tidak bisakah diamati saja tanpa harus memberikan penilaian baik atau buruk, jahat atau tidak yang akan mempengaruhi sikap kita? Tidak bisakah semuanya itu dinikmati saja, dan membiarkan saja semuanya berlalu? Tidak bisakah kata-kata "if" dihilangkan sehingga begitu sesuatu hadir dihadapan kita tiada lagi pembenaran sesaat yang akan mempengaruhi kita dalam memandang, menikmati dan merasakan hingga akhirnya melepaskan semuanya.

Semoga semua makhluk berbahagia.


Adaptasi dari Ultraman Max - "If"





Selasa, 19 Januari 2010

Saya hanya belajar melukis

Disebuah kelas sedang berkumpul sejumlah orang yang sedang belajar melukis pada seseorang yang mereka anggap sebagai ahlinya dalam bidang melukis. Dari anak-anak sampai usia cukup dewasa ada disitu. Hari itu merupakan hari pertama mereka mengikuti pelajaran melukis. Tidak lama masuk ke dalam ruangan itu seorang kakek yang sudah memutih rambut dan janggutnya, sambil dibantu tongkat dia memasuki ruangan. Hari itu tanpa banyak penjelasan dibagikan masing-masing peserta peralatan  melukis kemudian Sang Guru meninggalkan ruangan tersebut. Hari kedua dan berikutnya sampai dengan hari ketujuh masih seperti itu yang dilakukan oleh Sang Guru.
Di hari ketujuh, sebelum peserta meninggalkan ruangan Sang Guru berdiri di depan semua peserta, ditatapnya satu per satu wajah-wajah peserta dan diberikan senyumnya sebagai penawar bagi semua peserta. Kemudian ditunjuknya salah satu peserta, Bagong namanya untuk maju kedepan.

"Nak Mas Bagong, coba ceritakan kepada teman-teman belajarmu apa yang kau dapatkan selama tujuh hari mengikuti pelajaran melukis ini." kata Sang Guru

Tentu saja Bagong agak terkejut mendengar kata-kata Sang Guru, dikuatkan dirinya untuk berbicara dan kemudian diapun berkata, "Maafkan saya Guru, saya datang ke tempat ini berbekal ketidak tahuan saya untuk melukis dan keinginan untuk belajar. Hari pertama saya masih bingung apa yang harus saya lukis, hanya saya perhatikan peralatan yang saya punyai. Saya lihat teman-teman ada yang suadah asyik melukis, betapa pandainya mereka bisa melukis dengan baik. Saya perhatikan saja, sambil saya bandingkan ternyata dibandingkan peralatan teman-teman, peralatan saya paling jelek. Saya hanya diam , sambil saya goreskan kuas ke kanvas tanpa arah yang jelas. Hari kedua sudah mulai ada gambaran apa yang harus saya lukis, namun kembali lagi ada perbedaan peralatan yang saya terima. Hari kedua sampai dengan ketiga masih seperti itu yang saya alami, selalu ada yang kurang entah itu kuasnya patah, catnya sudah keras, kanvasnya berjamur dan seterusnya. Hingga akhir saya hanya bisa diam, ingin rasanya saya keluar ruangan dan tidak kembali lagi kesini untuk belajar melukis. Namun seperti ada yang membisikkan dan membuat saya tersadar, bukankan saya kesini berawal dari ketidaktahuan dan keinginan untuk belajar. Mengapa saya sekarang harus lari? Mengapa saya harus merasa iri dengan teman sekitar? Mengapa saya selalu ingin yang lebih dari yang saya miliki? Bukankankah ketika kuas saya patah, saya masih memilki jari-jari, siku dan bahkan badan saya ini untuk melukis? Bukankah ketika kanvas saya jelek bukan suatu alasan saya untuk berhenti belajar melukis? Bukankah ini semua sebagai sebuah proses, hingga saya menyadari semua peralatan itu sebagai sebuah sarana untuk berproses? Bukahkah teman-teman juga berproses seperti itu juga? Kenapa sekarang saya harus berhenti, bukahkah sebaik atau sejelek apapun yang saya lukis itulah lukisanku? Haruskah diriku hanya sekedar penikmat dan pencontek lukisan temanku tanpa pernah berproses kedalamnya? Begitu kiranya Guru pelajaran yang saya dapatkan sepanjang hari pertama sampai saat ini. Saya tetap akan belajar melukis dengan media apun, trima kasih Guru atas pelajaran yang diberikan. Kiranya saya tetap saja tidak tahu tentang cara melukis." kata Bagong

Sang Guru hanya tersenyum  sambil mengelus-elus janggutnya, "Kiranya Nak Mas Bagong justru sudah bisa melukis dengan baik. Teruslah berproses, bukan hasil lukisan yang utama namun proses itu sendiri yang utama. Seperti  diri kalian yang selama ini kalian lukis dan batin yang tiada hentinya kalian lukis.Teruslah melukis, mewarnai alam ini sebagaimana kalian melukis. Hingga terwujud lukisan alam semesta yang beraneka warna."

Salam