Rabu, 30 Desember 2009

Sebuah Obor Kehidupan

Disuatu dusun dikaki sebuah gunung sedang diadakan Misa Natal, banyak sekali yang datang mengikuti misa yang waktu itu menggunakan adat jawa. Semua larut dan hanyut dalam misa tersebut sampai akhirnya merekapun pulang ke rumah masing-masing. Selesai misa serombongan yang terdiri dari bapak, ibu dan kedua anaknya meninggalkan misa tersebut dan kembali ke rumahnya. Perjalanan kembali yang melelahkan, maklum rumahnya berada di atas bukit. Terlihat wajah-wajah keceriaan di keluarga tersebut, seakan menikmati perjalanan yang ada. Senda gurau serta ucapan kata-kata diantara mereka sepanjang perjalanan.
"Pak, gelap dan licin ya jalan yang ada. Coba banyak lampu seperti di misa tadi pasti lebih enak." kata anaknya yang besar.
"Ya beginilah le, namanya juga jalan desa habis hujan lagi. Makanya hati-hati jalannya jangan sampai jatuh ya. Oya kita istirahat bentar ya bune, sambil ngobrol-ngobrol. Kasihan anak-anak."kata sang bapak. Dan merekapun beristirahat di sebuah gubuk di tepi jalan.
"Coba le kedua anakku, perhatikan dan rasakan apabila obor ini bapak matikan." katanya sambil mematikan obor sehingga suasana menjadi gelap gulita, karena tiada cahaya satupun bahkan bintang-bintang dilangit seolah malu dan enggan memancarkan sinarnya. Setelah beberapa lamanya, maka dinyalakannya kembali obor tersebut.
"Ndak enak pak, gelap jadi ndak bisa ngapa-ngapain.Takut ."kata anak yang terkecil
"Bener pak, ntar kalau ada ular atau orang jahat jadi ndak tahu pak." kata anak yang besar.

Sang bapak dan ibu tersenyum-senyum mendengar ucapan buah hatinya, kemudian sang bapak menanggapinya,"Benar ngger anakku berdua, memang tidak enak berada dalam kegelapan. Namun coba pahami lagi betapa disaat gelap diri kalian akan lebih hati-hati , kalian gunakan pendengaran dan perasaan kalian untuk mengamati keadaan sekitar karena indera penglihatan kalian tidak  bisa digunakan dengan sempurna. Lebih waspada akan bahaya yang datang. Di saat berada dalam kegelapan seakan kalian membuat benteng yang kuat untuk menghadapi segala gangguan yang mungkin datang. Sebaliknya di saat obor bapak nyalakan, tentu kalian akan lebih bisa melihat dan mengamati keadaan sekitar dengan baik. Segenap indra yang kalian gunakan tentu bisa kalian gunakan, bahkan tidak jarang kalian manjakan hingga terlena. Tidak jarang segenap indramu terbuai kenikmatan yang ada, hingga terjebak dalam keinginan , keakuan yang makin lama merasuki dirimu. Padahal kegelapan dan terang sebenarnya sama saja, seharusnya kalian tetap dalam kewaspadaan yang sama, dengan benteng yang sama kuat pula.Tidak seharusnya semua itu menjadi alasan pembenaran sesat."

"Seperti obor ini , dia akan terus menyala selama ada minyak, sumbu, dan ada yang menyalakan. Dia selalu menyala, hingga akhirnya ada yang mematikan dan minyak serta sumbunya habis. Dalam diri kalian juga ada obor yang akan selalu menyala menerangi perjalanan kalian. Di saat dalam kegelapan sebenarnya obor kalian akan senantiasa menerangi kalian agar selalu terjaga, dan  syukur kalau bisa menerangi sesama kalian.  Obor kehidupan yang diberikan DIA .Disaat kalian dalam terangnya hidup  sebenarnya cahaya obor senantiasa menerangi pula, namun seringkali justru disaat itulah biasanya kalian terlena karena sudah menemukan dan menikmati terang dari sekitar kalian dan meniadakan obor yang terus menyala ,  terlalu asyik menikmati cahaya obor penerang sekitar dan melupakan obor didirinya hingga mungkin nyala obor itu akan semakin mengecil kalau kalian tidak menyadarinya dan mengisinya kembali. Seharusnya di dalam terang terus kau jaga nyala obormu, teruslah kau jaga nyalanya jangan sampai padam, saling memberi terang, tidak disilaukan oleh cahaya-cahaya obor disekitarmu. Bukankah lebih indah anakku." kata sang bapak.

"Ibu hanya sedikit menambahkan anakku, seperti kata bapakmu. Dengan kalian sadari, rasakan, jaga  obor  hidup dari DIA yang ada didalam diri kalian mudah-mudahan kalian bisa melalui perjalanan terang dan gelapnya jalan dengan porsi yang sama, menerima segalanya dengan apa adanya, slalu kalian syukuri yang kalian terima. Nikmati hidup kalian dengan selalu waspada dan ingat sama DIA sing gawe urip." kata sang ibu.

Setelah segala penat hilang, merekapun meneruskan berjalan, diterangi obor yang mereka pegang. Tanjakkan, tikungan, turunan dilalui dengan  penuh rasa syukur, tiada beban seakan alam semesta menyatu dengan mereka untuk melangkah. Memberikan nyala-nyala obor untuk kehidupan ini.


Sebuah catatan kisah keluarga, yang berfikir dengan cara-cara sederhana, pola-pola sederhana. Mencoba menggali hidup dalam kederhanaan. Sekedar menjalani hidup untuk merangkai kisah hidup di dalam sebuah rumah. Rumah kita yang sebenarnya....Salam Cahaya

Kamis, 17 Desember 2009

Celoteh Sang Kakek

Di sebuah gubuk di tengah areal persawahan tampak seorang kakek yang sedang berisitirahat ditemani seorang cucu laki-laki yang selalu menyusul ke sawah sehabis pulang sekolah. Diusianya yang masih muda 8 tahun, dirinya telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Setiap hari dirinya  hanya bersama kakek dan neneknya. Terkadang dirinya  selalu bertanya kenapa  sang ayah dan ibunya meninggalkan dirinya seorang diri. Sang kakek dan nenek hanya mampu menahan nafas sambil sesekali diberikan jawaban yang mungkin mampu membuat sang cucu lebih tegar.

Seperti pada saat tengah hari itu, terjadi perbincangan antara sang kakek dan cucunya yang sepertinya sedang membicarakan sesuatu.
"Kek, kenapa aku harus ada dan kenapa aku harus sendirian ?" tanya sang cucu kepada kakeknya

Sang kakek hanya bisa tersenyum, sambil menahan nafasnya dia menjawab pertanyaan cucunya, "Cucuku kenapa kamu menanyakan lagi hal itu? Ngger cucuku, satu hal yang pasti kamu ada karena kamu harus ada, ingat cu kamu tidak sendirian . Ada kakek ada nenek, ada teman-temanmu juga tho le. Coba lihat sekelilingmu cu, indah bukan? Coba cermati alam sekitar, kehidupan yang ada di alam sekitar. Mereka juga temanmu, mereka saudara-saudaramu yang senantiasa menemani dan menyertai dirimu." kata sang kakek sambil menghirup rokok klembak menyan yang dilintingnya sambil tersenyum ke arah cucunya.

"Coba lihat tanaman kacang panjang itu cu, perhatikan dengan sesama betapa tanaman itu tumbuh dengan sulurnya yang mengikuti bambu bergerak keatas seakan-akan bergerak menuju Gusti yang selalu menyinari dirinya. Coba lihat  gemercik air itu , air yang selalu bergerak secara alami mencari tempat yang lebih rendah. Kalaupun dia bergerak ke atas pasti ada tekanan yang menyebabkannya keatas. Dirimu juga seperti aliran air yang terus mengalir, namun jangan terlena dengan aliran air hingga engkau dapat terhanyut dan tenggelam didalamnya. Lihat burung pipit itu le, betapa mereka memakan bulir-bulir padi secukupnya saja. Seperti juga doa yang biasa kamu ucapakan "Gusti, berilah kami rejeki hari ini secukupnya" hendaknya hidupnya juga seperti doa dan burung pipit itu, nikmati anugerah yang kauterima dengan penuh syukur tanpa merasa selalu berkekurangan. Lihat daun-daun pohon itu le, bukankah disamping daun baru tumbuh  daun-daun kering akan berjatuhan ke tanah , berguguran ke tanah. Hal itu tidak bisa ditawar-tawar lagi, sifatnya alami. Begitu juga dengan hidup ini disaat ada kelahiran ada kematian, ada kesusahan tentu ada kegembiraan . Kedua sisi yang  selalu ada dalam hidup dan tidak bisa dilewatkan." sambil klempas-klempus Sang Kakek berhenti sejenak.

"Lihat cu pohon pisang raja itu. Betapa dirinya tidak pernah protes takkala buahnya diambil, tetap saja dia tumbuh dengan tunas-tunas baru dan menghasilkan buah-buah lagi buat sesama yang membutuhkan. Begitu juga dengan dirimu hendaknya kamu belajar untuk menghasilkan buah yang berguna dan memberikan dengan ketulusan bagi sesamamu tanpa pernah mengharapkan imbalan. Coba dengarkan juga suara katak kalau malam hari, bukankah terdengar indah bersaut-sautan mungkin diikuti suara jangkerik. Terasa damai kan cucuku. Coba kalau kalau katak itu bersuara bersamaan dengan satu nada yang sama dan ketukan yang sama pasti akan terasa lain, bukankah perbedaan yang ada akan semakin menambah keindahan. Bukankah kamu dan teman-temanmu juga berbeda, perbedaan yang ada diantara kalian akan semakin menambah keindahan hidup ini. Lihat juga pematang sawah yang barusan kakek bersihkan, bukankah kamu kalau jalan di pematang sawah ini akan hati-hati supaya jangan terpeleset dan tidak jatuh ke sawah. Lihat juga jalan kampung itu, bagaimana saat kamu berjalan disana. Seharusnya saat dia jalan kampung itu kamu juga lebih berhati-hati karena dengan jalan yang rata itu seringkali membuat terlena dan tidak sadar akan bahaya disekitarnya. Seperti juga saat kamu menapak dalam jalan hidup ini, tetaplah selalu untuk tersadar jangan sampai terlena." kata sang kakek.

"Lihat juga gagang cangkul ini, kalau tidak pernah dipakai pasti akan terasa lain ditangan dibandingkan dengan cangkul yang biasa dipakai. Terasa lebih halus, lembut dan tidak membuat telapak tangan sakit. Begitu juga dengan dirimu hendaknya kamu belajar dan mengasah hati dan pikiranmu, pelajari hingga hati dan pikiranmu menjadi semakin halus dan tajam. Lihat juga kaki dan tangan kakek ini, sehabis kena lumpur pasti kakek basuh dengan air dan sabun agak bersih dan bebas dari kuman. Begitu juga dengan raga dan jiwa ini perlu juga untuk dibersihkan dengan bermatiraga, bersihkan kotoran batin dan pikiran saat bermatiraga. Saat kamu membuat pengakuan dosa, pernahkah kamu sadari hingga kamu tidak mengulangi dosa-dosa yang sama? Kalau tidak berhati-hati maka kamu akan terjebak dalam tradisi puasa dan pengakuan dosa yang menurut ajaran agama diwajibkan. Seharusnya semakin kamu sadari dengan bermatiraga dan pengakuan dosa semakin membuat hati dan pikiranmu bersih , semakin hari semakin bertambah bersih seiring perjalanan sang waktu. Semoga seiring jejak-jejak langkah yang terus kaubuat, semakin besar sinar di dirimu yang semakin menyinari kehidupan. Masih banyak pelajaran dari Saudaramu Alam Sekitar yang bisa kau pelajari dan semoga semakin membuat dirimu lebih mencintai alam sekitar dan lebih bijak dalam menggunakannya" lanjut sang kakek

Karena  sudah saatnya pulang, maka Sang kekek mengajak cucunya untuk pulang. Tampak sinar ilahi yang memancar di raut muka kedua makhluk itu. Sinar Ilahi yang selalu memberikan sinarnya di kehidupan ini.

Salam










Jumat, 11 Desember 2009

Sang Penerus

Suatu ketika di sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Ageng  memanggil dua orang muridnya untuk membahas sesuatu yang teramat penting, membicarakan penerus padepokan dikarenakan Ki Ageng ingin menyepi dan melepaskan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniawian. Kedua muridnya , dipanggilnya murid yang tertua Gajah Seto dan murid termuda Rara Wilis. Di hadapan Ki Ageng yang sangat mereka hormati, tampak kedua murid tersebut msih kebingungan dan tidak mengerti akan maksud dari guru mereka, dan Ki Ageng tampaknya bisa mengetahui apa yang sedang berkecamuk di pikiran kedua muridnya hingga akhirnya diapun berkata, "Muridku, Gajah Seto dan Rara Wilis aku tahu apa yang menjadi pertanyaan di diri kalian. Aku sudah mempertimbangkan masak-masak, dan aku melihat kalian berdualah yang kulihat mampu menjadi penerusku kelak. Namun belum saatnya kalian mengetahui alasanku. Sambil menunggu saat itu, aku menyuruh kalian untuk sementara waktu mengembara selama dua belas purnama." kata Ki Ageng, dengan perlahan namun dari getar suara dan sorot matanya tersirat wibawa yang begitu besar.

"Gajah Seto, kamu turuni lereng bukit ini. Kamu bawa perbekalan secukupnya, aku  titipkan air dalam bumbung bambu ini sebagai tanda penyertaanku kepadamu. Bawalah bekal secukupnya, nanti saat kamu temui dusun pertama kamu berhentilah dan tinggalah disitu. Selama dua belas purnama baru kamu kembali kesini dan aku minta dibawakan sesuatu yang paling berharga," kata Sang Guru, kemudian diapun melihat muridnya yang termuda .

"Rara wilis, aku tahu kamu pasti masih kebingungan. Tidak usah hal itu menjadi beban buatku, nanti kembali aku beritahu alasaku. Bawalah bekal secukupnya, aku titipkan air dalam bumbung bambu ini sebagai tanda penyertaanku kepadamu. Kamu naiki perbukitan ini, berjalanlah ke arah barat, hingga kautemukan dusun pertama. Selama dua belas purnama pula kamu tinggal disana dan kembalilah kesini." kata Sang Guru. "Saat mentari memancarkan sinarnya esok hari kalian berangkatlah, doa  restuku selalu menyertai langkah kalian dan ingat ya kedua muridku Gusti akan selalu meyertai kalian. Sekarang istirahat dan persiapkan untuk perjalanan esok hari."

Setelelah itu kedua murid tersebut meminta doa restu dan berpamitan , kembali ke bilik mereka masing-masing. Masih menyisakan pertanyaan besar di  diri mereka. Namun dengan tekad yang bulat keesokan harinya pada saat sang fajar muncul mereka telah meninggalkan pedepokan tersebut.

Hari berganti hari, purnama berganti purnama hingga akhirnya pada purnama ke dua belas kedua murid tersebut kembali. Yang pertama muncul Gajah Seto, dibalik kelelahan tampak dirinya semakin gagah saja . Tampak bawaan yang dibawanya lebih banyak dari saat di berangkat. Selang beberapa lama tampak pula Rara Wilis, terlihat paras mukanya memancarkan sinar-sinar kecantikan yang terbalut senyumnya dan kelelahan dirinya. Dengan berseri-seri di melangkah. Keduanya tampak saling berjabat tangan, bercengkrama melepas kerinduan yang ada di keduanya. Saking asyiknya mereka bercengkrama , tidak disadari oleh mereka berdua Ki Ageng telah lama memperhatikan mereka berdua.

"Selamat datang kedua muridku yang kukasihi, senang rasanya melihat kalian kembali ke padepokan ini dengan keadaan sehat dan kiranya tidak ada satupun yang kurang. Nikmatilah waktu yang ada, lepaskan segala beban yang selama ini kalian pendam. Beristirahatlah karena besok pagi masih ada yang harus kalian kerjakan. Gajah Seto pergilah ke atas gunung esok hari dan kembalilah saat senja, sedangkan Rara Wilis masuklah ke ruangan samadhi dan hanya beloh keluar saat aku memanggilmu. Kita bertemu besok malam sambil kalian ceritakan pengalaman dan apa buah tangan yang kalian bawa untukku." kata Ki Ageng ,kemudian dia meninggalkan pendopo meninggal kedua insan yang masih asyik bercengkrama.

Keesokan harinya Gajah Seto pergi ke puncang Gunung, dan Rara Wilis masuk ke ruangan samadhi. Sore hari Gajag Seto kembali, dan Rara Wilis pun sudah keluar dari ruangan samadhi, hingga malam harinya mereka bertemu di pendopo. Disitu sudah ditunggu oleh Ki Ageng, disuruhnya kedua murid tersebut duduk di hadapannya. Kemudian diapun melihat ke Gajah Seto, "Gajah Seto aku ingin dengar apa yang kau dapat dari pengembaraaanmu selama ini dan hasil pendakianmu ke puncak gunung?' tanya Ki Ageng

"Maaf guru, tidak banyak yang saya dapat dari pengembaraan ini. Saya hanya bisa membawakan barang-barang yang mungkin guru menyukainya. Air yang dulu dibawakan juga saya kembalikan lagi, masih utuh seperti semula. Sungguh pengembaraan yang sangat berat, saya harus membawa air ini terus-menerus. Di dusun tempat saya tinggal memang cukup makmur sehingga saya senang berada di sana namun seringkali ada gangguan. Untung dengan bekal ilmu kanuragan yang guru ajarkan semua bisa saya kalahkan. Kemudian dari hasil pendakian gunung tersebut saya hanya dapat menikmati keindahan suasana alam. Kiranya hanya itu yang saya dapatkan, maaf guru kalau salah," kata Gajah Seto.

"Kalau kamu muridku Rara Wilis, bagaimana hasil pengembaraanmu dan hasil di ruangan semedi?" tanya Ki Ageng

"Maafkan muridmu yang bodoh ini guru, awalnya sungguh terasa berat rasanya menerima perintah untuk mengembara karena saya masih baru dan saya sudah terlanjur cinta dengan suasana disini. Namun dalam perjalanan pendakian gunung dengan membawa bekal dan air yang guru berikan saya bulatkan langkah menempuh perjalanan ke dusun yang harus saya tuju. Semakin lama saya melangkah semakin terasa lelah, hingga akhirnya saya istirahat sejenak. Saat itulah saya tersadar, berat ringannya perjalanan yang saya lakukan karena saya terlalu memikirkan beban air dan beratnya medan yang harus ditempuh. Bukankah terasa ringan apabila pikiran terbebas dari berapa berat air dan seberapa berat medan perjalanan? Bukankah berjalan naik atau turun sama saja saya tetap berjalan? Bukankah jarak 1 km ataupun berpuluh-puluh kilo juga sama saja selama sepanjang saya bisa menikmati perjalanan yang harus ditempuh? Bukankah dengan medan yang terjal membuat saya lebih hati-hati dalam melangkah, sekalipun saya harus terjatuh pasti saya akan lebih berhati-hati kembali? Banyak pertanyaan di diri saya yang akhirnya membuat tersadar, dan membuat saya sampai ke tempat tujuan." kata Rara Wilis, sambil melirik ke Gajah Seto dan memberikan senyum manisnya.

"Sesampai ke temapat dusun pertama saya terkejut dengan kondisi dusun tersebut yang serba kekurangan, kondisi alam yang tidak bersahabat, kerasnya hidupnya, kerasnya perilaku warga dusun, kerasnya persaingan demi mempertahankan hidup yang mereka jalani. Saya bersyukur Guru, setidaknya berbekal perjalanan yang sulit akhirnya sayapun bisa melihat, menerima semua seprti apa adanya, bahkan memudahkan saya untuk masuk ke lingkungan yang berbeda. Saya belajar menggunakan prinsip garam dimana rasa garam itu selalu ada, dan tidak lebih tidak kurang. Karena kalau kurang akan terasa hambar, dan kalau lebih akan terasa asin. Saya mencoba masuk ke segala sisi, tanpa harus lebur musnah." katanya lagi, Ki Ageng hanya tersenyum mendengar cerita murid termuda.

"Sewaktu saya di ruangan samadi, awalnya melalui lubang yang ada saya bisa mengamati ruangan sekitar, namun seiiring dengan berjalannya waktu maka suasan menjadi temaram hingga akhirnya gelap. Udara yang saya rasakan juga semakin pengap, seakan tidak ada udara lagi. Hingga akhirnya saya hanya bisa mengambil sikap samadhi, berbekal perjalanan sebelumnya membuat saya hanyut kedalamnya sampai akhirnya guru memanggil saya. Trima kasih guru, berkat bimbingan guru hingga saya berhasil mencari apa yang selama ini saya cari, semakin yasa bisa menerima semuanya sebagai sebuah anugrah, semakin saya bisa menghargai raga ini, melihat, menyadari hingga melepaskan semuanya. Hanya semua itulah yang bisa berikan sebagai hadiah buat Guru, sekaligus saya mau minta maaf karena air yang Guru berikan telah habis saya minum di perjalanan, dan saya juga mempelajari ilmu dari luar perguruan ini sebagai pelengkap diri saya." kata Rara Wilis


Ki Ageng hanya manggut-manggut sambil tersenyum mendengarkan cerita muridnya, kemudian diapun memulai bicara,"Ngger, kedua muridku. Sengaja dahulu aku memilih kalian berdua dengan pertimbangan kalian berdua mewakili dua sisi pria dan wanita yang kulihat terbaik. Walaupun Rara Wilis termasuk muridku yang termuda namun kulihat dialah wakil dari sisi wanita yang terbaik. Akupun memberikan bekal air dalam bumbung bambu dengan ukuran yang sama sebagai bentuk keadilan untuk kalian bawa, air yang sebagai tanda aku selalu menyertai langkah kalian tentu saja boleh kalian minum kalau merasa haus. menjadi sangat aneh kalau air itu kalian simpan dan menjadi seolah ajimat atau kalian dewakan agar dapat memberikan kekuatan bagi kalian. Kekuatan sejati yang sebenarnya ada dalam diri kalian sendiri. Aku sengaja memberikan kalian jalan yang berbeda dan medan yang berbeda, Rara Wilis kuberikan jalan dan medan susah agar dia menyadari bahwa sisi kewanitaan yang dia miliki tidak menjadi alasan pembenaran untuk mendapatkan kesulitan yang lebih ringan dibanding kamu Gajah Seto. Begitu juga dengan alasan kenapa dia kumasukan ke ruangan Samadi, dimana cahaya dan udara aku atur sedemikian rupa agar dia merasakan apa yang dia ceritakan. Sedangkan kamu Gajah Seto ternyata dibalik kepandaian ilmu kanuragan yang kuakui teratas di padepokan ini atas ilmu yang kuberikan namun kamu belum bisa menyerap makna lain selain ilmu kanuragan."

"Rara Wilis, kiranya dirimulah yang selama ini aku nanti-nantikan sebagai penerus padepokan ini.."kata Ki Ageng selanjutnya dan membuat Rara Wilis terkejut, lebih terkejut lagi Gajah Seto.

"Guru, bukankah Rara Wilis seorang wanita. Sungguh tidak lazim dan belum ada sejarahnya padepokan ini dipimpin seorang wanita?" tanya Gajah Seto

"Gajah Seto, lupakah dirimu akan pelajaran yang telah kuajarkan selama ini. Beginilah kalau dirimu sudah terjebak dalam konsep pria dan wanita, padahal itu hanya sebuah sebutan yang kita berikan untuk membedakan saja. Tidak ada yang lebih baik atau lebih tinggi antara seorang yang disebut pria atau wanita. Keduanya sama-sama mempunyai raga yang sama, yang kita sebut sebagai manusia. Manusia yang terdiri dari raga dan jiwa, sehingga tidak perlu dipersoalkan siapa yang harus memimpin. Kalau kamu sadari lagi di dalam dirimu juga ada sisi kewanitaan yang terkandang muncul dan berbincang dengan sisi kepriaanmu. Kedua sisi yang saling mengisi, memberi, menerima  satu sama lain. Begitu juga kamu Rara Wilis. Satu lagi yang harus kalian ingat tentang raga ini, raga yang harus kalian sadari dimana jiwa kalian ada tentu saja ada kelebihan dan kekurangan. Terimalah, nikmati apa adanya, raga yang merupakan rumah sebenarnya dari diri kalian. Cintailah rumah kalian, namun jangan merusaha untuk mengikatnya. Biarlah raga ini berjalan searah dengan sang waktu, tidak ada yang bisa dicegah. Lihatlah rambutku ini yang terus memutih dan rontok meninggalkan kepala ini tanpa bisa kucegah. Rumah yang nantinya akan rapuh, namun hendaknya pikiran kalian jangan sampai rapuh. Bebaskan dia dari kerapuhan raga ini. Kiranya sekarang aku sudah bisa mulai mempersiapkan dirimu Rara Wilis untuk menjadi peneruskku, dan tentu saja Gajah Seto yang tentu akan selalu mendapingimu. Berjalanlah kalian berdua , beriringan satu sama lain, kedua sisi wanita dan pria yang berjalan beringan saling mengisi dan memberi. Berikan cahaya terangmu, berikan garammu bagi sesama makhluk. Kurestui kalian berdua." kata Ki Ageng sambil tersenyum dan mengandengkan tangan Gajah seto ke Rara Wilis

Sehabis memberikan restunya, Ki Ageng masuk ke ruangan meditasi. Meninggalkan Gajah Seto dan Rara Wilis yang sedang berbunga-bunga, merajut kasih mereka berdua.

Salam

Senin, 07 Desember 2009

Seorang Jai Hwa Cat

Suatu  ketika di sebuah tempat makan berkumpul para tetua dari berbagai aliran dalam dunia persilatan. Mereka semua sedang mengadakan upacara penyambutan seseorang, seorang pendekar gila . Sebutan yang disandangnya karena dirinya tidak pernah mau menyebutkan namanya, namun sebagai sesosok remaja dia sudah membuat geger dengan tindakan dan ucapannya seringkali diluar penalaran masyarakat pada umumnya. Tampak ditengah-tengah ruangan duduk di meja tengah sesosok pemuda didampingi tetua-tetua sedang asyikanya berbincang-bincang sambil menikmati makanan yang dihidangkan. Masih tersisa satu tempat duduk di meja tersebut.

Ditengah-tengah asyiknya mereka semua menikmati hidangan, suasana dibikin gaduh oleh kedatangan seorang pemuda tampan yang dengan langkah pasti memasuki ruangan tersebut. Dengan tatapan dan senyuman dibibirnya dia menuju ke meja dimana pendekar gila sedang duduk, keduanya saling bertatap mata sambil saling melemparkan senyum. Disambutnya pemuda tampan tersebut dengan ramah dan disuruhnya duduk disamping dirinya. Sepontan tindakan tersebut membuat para tetua dan hadirin yang hadir disitu terperangah dan tidak terima dengan perlakuan yang diberikan kepada sang pemuda. Ada yang berbisik-bisik, ada yang memperlihatkan muka tidak puas, ada juga yang langsung memberikan komentar dengan lantang.

"Hai Pendekar Gila, tidak tahukah kamu siapa yang barusan kau sambut? Masak seorang Jai Hwa Cat kau berikan kesempatan untuk duduk disamping dirimu dan para tetua yang terhormat?" kata hadirin
"Sungguh tidak pantas dirinya ada disini, usir saja dia dari sini!" suruh hadirin yang lainnya.
"Sungguh tak pantas kami berkumpul disini dengan seorang pendekar pemetik bunga yang selalu mengumbar nafsu birahinya," seru lainnya
"Benar pendekar gila, suruh keluar dirinya. Tidak pantas kita golongan putih bersanding dengan dirinya. Kalau engkau benar-benar menghormati kami para tetua kiranya suruh dirinya pergi keluar dari sini. Kedatangan dan penghormatan dirinya membuat kami terhina dengan perlakukan yang pendekar berikan kepadanya,, tidak pantas kami disejajarkan dirinya" kata salah satu tetua yang duduk bersama dengan Pendekar Gila.
Masih banyak seruan lainnya yang memperlihatkan ketidaksenangan mereka terhadap seorang Jai Hwa Cat yang menjadi teman Pendekar Gila

Sang pendekar gila hanya tersenyum sambil dilihatnya wajah-wajah sekitar yang menunjukkan rasa ketidaksukaannya kepada temannya, kemudian sambil tersenyum pula dilihatnya wajah temannya seorang yang mereka sebut Jai Hwa Cat. Berdua mereka saling melempar dan membalas tatapan, sang temannya pun mengerti dan menganggukkan kepalanya seakan sudah mengetahui apa yang akan dilakukan Pendekar Gila. Dengan tanpa beban pendekar gila berdiri sambil memberikan salam dulu kepada para tetua dan temannya, diapun mulai berbicara.

"Para tetua dan hadirin sekalian , maaf kiranya apabila perlakuan yang kuberikan kepada sahabatku menyinggung kalian semuanya. Sebuah perlakuan yang sebenarnya wajar diberikan bagi tamu yang datang, namun ternyata menjadi batu sandungan dan menjadi persoalan yang sebenarnya tidak perlu dipersoalkan.  Salahkah diriku menyambut, mempersilakan seseorang yang datang kepadaku siapapun orangnya?  Dimana letak kesalahan dan kebenaran? Apakah sekiranya saya makan menggunakan tangan kiri itu juga salah, karena tidak seperti yang para tetua atau hadirin yang makan dengan tangan kanan? Apakah kalau saya melangkah menggunakan kaki kanan dulu baru kemudian kaki kiri juga salah, karena berbeda dengan kebanyakan orang? Apakah kalau saya menggunakan pakaian wanita itu juga merupakan kesalahan? Apakah kalian juga akan memberikan penghormatan kepadaku dengan cara seperti ini apabila aku masuk kesini dengan badan yang bau dan penuh luka?" kata Pendekar Gila sambil tetap memberikan senyumnya

"Sangat menyedihkan melihat betapa para tetua dan kalian semua melihat dan menghakimi sesorang hanya dengan melihat segi terluar dari sesorang. Hingga akhirnya kalian bisa membaginya menjadi dua kelompok antara golongan yang kalian sebut hitam dan putih, sehingga yang putih harus berkumpul dengan yang putih karena dialah golongan yang terbaik. Kalian tutup mata dan hati kalian, sehingga tidak terlihat adanya kebaikan di dalam diri temanku ini yang kalian anggap golongan hitam.. Seolah olah pasti  selalu ada kebaikan di dalam golongan putih yang kalian agung-agungkan, tanpa pernah adanya terselip kejahatan yang ada diantara kalian.  Temanku kalian anggap golongan hitam karena perbuatannya di masa lalu, dimana sang pemetik bunga dan bunga yang dipetik melakukan kesalahan. Kenapa kesalahan hanya kalian tumpahkan kepada dirinya? Kenapa bunga yang dia petik tidak kalian  persoalkan? Bukankah mereka berdua melakukan hal yang sama dengan kesadaran mereka berdua. Mengapa kalian perlakukan temanku seolah-olah dia kotor banyak dosanya, apakah kalian juga manusia yang tanpa dengan dosa? Sangat menyedihkan tatkala sesorang menghakimi orang lain sementara diapun juga tidak luput dari apa yang kalian namakan dosa. Menyedihkan melihat topeng-topeng yang kalian pakai, dibalik jubah kemegahan serta status yang kalian sandang ternyata banyak kebusukan yang tersembunyi. Tidak sedikit dari kalian yang menggunakan aspek legalitas dari dogma atau kepercayaan yang kalian pegang untuk melakukan pembenaran atas tindakan yang kalian ambil. Dibalik sikap pertapa kalian ternyata pikiran, hati dan batin masih belum terbebas akan nafsu-nafsu duniawi yang ada. Dibalik sebutan pendekar yang kalian sandang ternyata tidak mencerminkan sikap seorang pendekar sejati. Ketika seseorang mengatakan orang lain tidak pantas dan layak untuk hidup berdampingan dengan dirinya pernahkan dirinya bertanya kepada dirinya seberapa pantaskah dirinya untuk bisa berdampingan dengan orang lain? Ketika sesorang akan melakukan kesalahan kemudian kalian kucilkan, pernarkah kalian menyadari kalian juga mungkin pernah berbuat kesalahan dan sudah layakkah perbuatan kalian itu? Saya sendiri mungkin tidak pantas berada disini di tengah-tengah golong kalian, untuk itu saya mohon diri pada para tetua, hadirin semua untuk meneruskan pngembaraan bersama teman sejati saya, seorang yang kalian sebut Jai Hwa Cat. Salam." kata pendekar gila sambil memberikan hormat dan senyum  diapun mengajak temannya meninggalkan ruangan tersebut.

Suasana menjadi diam, para tetua seakan dipukul dengan palu betapa piciknya mereka, begitu pula sebagian hadirin. Namun tidak sedikit pula yang masih memasang muka tidak senang dan tidak puas atas ucapan dan tingkah laku pendekar gila. Pendekar Gila yang sadar bahwa diapun juga belum terbebas akan nafsu yang selalu menggodanya....

Salam