Kamis, 18 November 2010

Celoteh Si Kecil ~ Baik Atau Buruk

Menjelang malam seorang bapak (B) menemani si kecil (K) yang sedang belajar. Maklum masih kecil maka yang dipelajarinya di sekolah belajar mengenal dan menulis angka dan huruf. Dengan tangannya yang kecil diulanginya lagi pelajaran yang didapatkannya di sekolah. Tentu saja sambil sesekali mengeluh dan terburu-buru agar dirinya secepatnya dapat menonton film kesukaannya. Setelah dirasanya cukup diapun menghentikan belajarnya.

K : “Pak, sudah ya. Aku dah capek je, mau nonton film Power Rangger ya. Bagaimana pak benar tidak tulisanku? Bagus tidak tulisanku,” tanya si kecil kepada bapaknya. Dan si bapak hanya bisa tersenyum melihat dan mendengar apa yang dikatakan anaknya.

B : “Sudah capek to le, lha bagaimana tidak capek kalau dirimu merasakan belajar itu sebuah keterpaksaan. Tentu saja semakin lama kamu belajar semakin dirimu merasa capek, merasa menjadi beban hingga nantinya kamu hanya akan belajar ada yang melihatmu belajar . Bukan begitu caramu belajar. Coba lihat bapak ini le, bukankah bapak juga seringkali belajar denganmu merangkai mainan yang semula terpisah-pisah hingga akhirnya menjadi bentuk robot, monster atau mainan yang akhirnya dirmu sukai. Dulu bapak juga belajar berjalan bersama-sama dengan dirimu disaat dirimu juga sedang belajar berjalan. Berdua kita belajar berjalan, terkadang bapak jatuh atau dirimu . Tapi tetap saja kita berdua terus belajar berjalan, hingga akhirnya dirimu bisa berjalan bahkan berlari seperti sekarang. Bapakpun juga akhirnya bisa berjalan kembali. Jadi saat belajar  menulis sama saja saat dirimu belajar berjalan dahulu.,” kata sang bapak.

K : “Iya pak. Tapi aku kok seringkali males je. Lagian tulisanku bagaimana pak, baik atau ndak.”

B : “Ya itu wajar le, setiap kali belajar tentu saja akan mengalami seperti  itu. Rasa bosan, merasa itu-itu saja yang dipelajari, menjadikannya sebagai sebuah rutinitas belaka bahkan mungkin merasa dirimu sudah pintar sehingga buat apa belajar yang itu-itu saja. Merasa cepat puas, merasa sudah bisa. Semua itu hanyalah sebuah tipuan, perasaan yang muncul yang akan membuatmu lupa akan makna dari belajar itu sendiri. Coba ingat kembali. Kalaulah dirimu sudah merasa bisa, kenapa masih saja sering melakukan kesalahan yang sama dalam menulis huruf atau angka. Bukankah akan lebih baik kamu lihat lagi hasil tulisanmu, bukan benar atau salah yang kau persoalkan. Lihat lagi tiap huruf atau angka yang telah kau tulis, bandingkan dengan contoh yang ada. Mungkin sekali waktu kamu juga harus memperhatikan tulisan teman-teman dan caranya mereka menulis. Semua contoh huruf atau angka hanyalah sebuah contoh hingga akhirnya dirimu dapat menulis huruf dan angka .Menulis dan merangkai angka dengan caramu sendiri. Dan hasil tulisanmu dan teman-temanmu akan berbeda-beda sesuai dengan cara kalian menulis masing-masing. Dibutuhkan ketekunan dan kejujuran dirimu dalam belajar hingga akhirnya dirimu akan terus belajar . “

Si Kecil tersenyum mendengar sindiran sang bapak, sambil manggut-mangggut pula dirinya mendengarkan penjelasan bapaknya.

B : “Sekarang lihat ini, ini angka 6 atau 9. Kalau dirimu menjadi anak yang kaku tentu akan bilang angka 6, padahal kalau bapak putar bukankah menjadi angka 9 . Kira-kira seperti itulah caramu harusnya belajar, memahami dengan benar apa yang sedang dan seharusnya kamu pelajari . Dan diperlukan cara berfikir yang terbuka terhadap segala kemungkinan yang timbul dari apa yang kamu pelajari. Sehingga dengan memahami dan berfikir terbuka dirimu tidak cepat merasa puas, merasa paling pintar, justru akan mendorongmu untuk terus belajar dan menemukan hal-hal baru dari apa saja yang kamu pelajari.”

Si Kecil tersenyum dan mengiyakan. Walaupun mungkin dirinya belum sepenuhnya paham akan yang barusan didengarnya.

K : “Pak besok kan ke Gereja to, jadi asyik dong bisa beli mainan. Aku mau cari robot kesukaanku.”

B : “Punya uang po le, mendingan ditabung dulu  biar kalau sudah terkumpul bisa buat beli peralatan melukis hingga ntar dirimu bisa belajar melukis. Lagian le, mosok kamu ingatnya kalau ke Gereja hanya biar bisa beli mainan to. Lha wong ke gereja itu untuk berdoa, sebagai salah satu cara bertemu dengan Gusti bukan Bertemu dengan MAINAN…..”

Si kecil tertawa dan sang bapak juga tertawa

B : “Ayo sekarang belajar memijat ya. Bapak tak mijat dirimu, rasakan ya le bagaimana enaknya pijatannya, gerakan tangan bapak dengan minyak yang tak olehkan di badanmu. Rasakan enaknya dipijat dan kesegaran yang nantinya kau rasakan. Pelajari dan rasakan ya caranya memijat, jangan malah keenakan terus tertidur. Nanti gentian dirimu yang memijat bapak, lakukan seperti yang bapak lakukan tentu saja kau bebas melakukan gerakan memijat dengan caramu sendiri setelah dirimu paham cara memijat.”

Begitulah bagian dari celoteh Si Kecil, dimana si kecil dan si bapak sama-sama belajar,  berteman dalam perjalanan ini dengan terus berusaha melakukan tugas dan kewajiban yang sekarang ini harus dilakukannya.

Selasa, 09 November 2010

Celoteh Si Kecil ~ Ber'Tindak'

Seperti biasanya mengisi hari libur, sang bapak (B) dan si kecil (K) jalan-jalan. Kali ini mereka berdua berjalan-jalan ke sawah, mencari cebong dan ikan cetho. menyusuri pematang sawah mereka berjalan sambil sesekali melihat barangkali ada cebong atau cetho. Hingga akhirnya mereka istirahat di bawah pohon pisang. Tak jauh dari situ ada seorang simbah (S) petani sedang mencari rumput. Melihat itu si kecil bertanya

K : "Pak, simbah itu lagi ngapain to?" katanya sambil mengusap keringatnya.

B : "Lagi menyabit rumput le, tapi biar lebih tahu ayo tanya sendiri ke simbah itu. Ayo bapak temenin tanya sama simbah itu le."

Mereka berduapun  mendekati simbah yang sedang asik mengarit (memotong rumput), setelah memberikan salam maka si kecilpun bertanya.

K : "Mbah, sedang apa to, kok dari tadi mukul-mukul rumput to mbah?"


S : "Hehehehe, wah cucu simbah ki lucu tenan. Simbah lagi ngarit buat memberi makan kerbau di kandang. Coba cu sekarang simbah ajarin ngarit ya.

Si kecilpun langsung diberikan arit, bukan gagang yang dipegangnya tapi bilah arit yang dipegangnya. Simbah terkekeh-kekeh melihat kelakuan si kecil, kemudian diajarkannya caranya memegang arit, mengayunkannya ke rumput hingga akhirnya si kecil paham dan dapat mengarit dengan benar.

S : "Begitulah cu kiranya cara mengarit yang bisa simbah ajarkan. Sekarang dirimu bisa memahami arit, rumput dan dirimu sebagai sebuah kesatuan. Smoga ini bisa menjadikan bekal bagimu dalam menapaki  perjalanan yang harus kau tempuh. Simbah hanya bisa terus berusaha merawat padi-padi yang ada, agar dapat mengahasilkan beras yang pulen. Beras alami yang mudah-mudahan memberikan rasa yang terbaik yang bisa cucu rasakan."

Setelah berbincang-bindang cukup lama, sang bapak dan si kecil pamit untuk kembali kerumah dan Simbah meneruskan menyiangi tanaman padi. Sampai di rumah sambil selonjoran di tikar si bapak ngobrol lagi sama si kecil.

B : "Benar le apa yang tadi dikatakan Simbah. Dirinya mengajari dirimu caranya dirimu harus bertindak. Bertindaklah sesuai dengan tugas dan kewajibanmu. Contonya sekarang dirimu masih sekolah, ya terus belajarlah yang giat, carilah ilmu dengan tekun, pahami semuanya yang sedang kau pelajari yang nantinya menjadi bekal dirimu. Tetap semangat dan berusahalah untuk selalu jujur dengan dirimu sendiri. Jadilah dirimu sendiri, berikan yang terbaik yang bisa kaulakukan. Jangan kau terus mengaharapkan bagian atau hak yang smestinya kau peroleh. Bapakpun sekarang hanya bisa untuk terus bekerja dan membimbing dirimu. Kawan seperjalanan dalam menapaki jalan hidup ini ya le."

Si kecil pun hanya manggut-manggut, sambil memijit-mijit kakinya . Mungkin kecapaian waktu jalan-jalan disawah tadi.

K : "Oya pak tadi disekolah diajarin tertawa, nangis, senyum sama bu guru."

B : "Bagus itu le, ayo sekarang kamu tertawa ntar bapak lihat, natar gantian bapak kamu yang liat . Habis itu tersenyum, sama sperti tadi terus nangis, marah, teriak. Biar bisa merasakan semua 'rasa' itu ya le."

Soengkem Wiluejeng Boeat Semuanya.......

Celoteh Si Kecil ~ Terang

Seperti biasa ada saja 'ucapan sentilan' dari si kecil (K) ke si 'bapak' (B)

B : "Le, jangan main di bawah terik matahari lama-lama, ntar kulitmu jadi kehitaman. Sudah sawo matang ntar jadi tambah gelap to le."

K : "Ya ndak papa to pak, lha ni putih to kulitku tuh kena sinar matahari malah jadi putih pak, ntar juga kalau di ruangan jadi putih wong kena lampu to pak. Jadi ya ndak papa, slalu da sinar yang menyinari tubuhku pak."

Sang bapak geleng-geleng kepala, namun akhirnya mnggut-manggut  juga
B : "Bener juga le, sperti Sinar yang barusan kamu bilang. Nek tak rasa-rasake  GUSTI ki ya selalu ada ya le. DIA selalu hadir seperti sinar tadi, bahkan melalui RAGA ini DIApun berkarya......Saking Dekatnya hingga seringkali lupa akan KEBERADAAN DIRINYA."

Kemudian merekapun masuk kerumah, terus berbincang-bincang sambil ber main MOnster VS ULtraman sperti biasa. Kemudian melihat dua buah kacamata mainan punya si kecil.

B : "Sini le coba pakai kacamata ini (Kacamata putih) trus liat matahari le, piye penak ora?'

K : "Silau pak, ndak bisa melihat pak."

B : "Sekarang pakai yang ini (Kaca mata gelap), gimana sekarang ?"

K : "Lebih enakan sekarang, bisa melihat sekarang ".

B : "Lha ya gitu le, terkadang saat merasakan TERANG, bisa saja kita ini menjadi terlena hingga terus mengharapkannya  tanpa pernah berusaha untuk menjadi terang sendiri. Sering juga karena susdah merasa mampu memberi TERANg, e malah kelupaan hingga menyilaukan bagi yang melihatnya......Menjadi LILIN disaat gelap , dan Menjadi LILIN yang TERus Menyala disaat TERang juga harus selalu diingat ya.....

Ayo sekarang main cubit-cubitan le....bapak tak nyubit ntar gantian di cubit....Jadi PAS sama2 merasakan sakitnya ntar bisa dibandingkan enaknya pas NYUBIT........Dirasake YO......aduuhhh-aduuuhhh

COrat CORet menjELANG PoeLANG......

Salim SOENgkem BOeat SEmoeAnya.....

Celoteh Si Kecil ~ Rasa

Seperti biasa ada saja pertanyaan yang keluar dari mulut polos si 'kecil'  (K) ke si 'bapak' (B). Obrolan-obrolan seorang anak kepada bapaknya yang terkadang memberikan sindiran dan senthilan.

K : "Itu apa pak, kok warnanya putih ?. tak rasain ya".  
B : "Itu garam le, coba aja. Rasanya asin to le, nek ndak ada garam rasanya makanan akan terasa hambar, nek kebayakan ntar jadi keasinan, ndak enak to le." Dan dilihatnya si kecil manggut-manggut

K : "Lhak nek itu juga putih opo pak?"
B : "Itu gula, rasanya manis. Nek banyak-banyak ntar kemanisan ndak baik buat kesehatan 'kata pak dokter', ntar kena sakit gula".

K : "Kalau yang dibotol itu apa pak?"
B : "Itu asam cuka, minum aja...Asem to rasane,  Coba sekarang kamu makan sop ayam buatan ibumu. Piye uenak to. Sekarang pelan-pelan dirasakan ya le, ada rasa asin, manis, asem di situ to le.. Tiga rasa yang menyatu menjadi satu, tidak hilang, bisa diurai lagi menjadi tiga, bahkan bisa menjadi banyak rasa tergantung banyaknya bahan yang dimasukkan di situ. Adonan yang PAS...tidak lebih dan tidak kurang...."

Begitu obrolan dengan si 'kecil', terus ngerumpi sambil becanda  hingga akhirnya
B : "Le, kemarin kamu dah tahu to, apa itu kaki, tangan, mata mulut, kepala, perut, dsb....Semua bagian dari tubuhmu yang luar atau dalam dah kamu tahu to. Sekarang coba bisa ndak tangan kirimu ingin meraih belakang badanmu, yang kanan ingin menggapai yang ada di depan, matamu ingin tidur terpejam, kakimu ingin berjalan, perutmu terasa mules pada saat bersamaan piye jal...bisa le....hehehehe....Kalau mau bisa, bapak potong aja ya biar terpisah-pisah, biar semua bisa dapat. Tapi ntar ndak ada yang mengenali dirimu....yang liat pasti bilang tangan terbang, kepala terbang....kaki berjalan sendiri....malah pada takut, lari semua...ntar dikira ada hantu...hehehehe."

"beda to le kalau semua itu jadi satu, temen-temenmu akan bilang "dewa" atau panggil adikmu "arjun"....lha wong mereka liatnya satu kesatuan tubuhmu...Semua bagian tubuhmu, ragamu ini ada yang mengendalikannnya....Adanya di dirimu sendiri, pelajari saja le...Hingga akhirnya kamu bisa 'bertindak' dan tahu apa itu' Tindakan"

" Ayo le sekarang main monster-monsteran...Bapak jadi Monster, kamu jadi Ultraman, Ntar dibalik ya Bapak jadi Ultraman kamu jadi Monster....Jadi tahu RASANYA jadinya MONSTER dan ULTRAMAN......hehehehe""""


SEkedAR CoREt-CoRet menunGGu hujan Di LuaR......

Salim Wilujeng Boeat Semoenya...

Kamis, 02 September 2010

Jejak Langkah Gagak Seto ~ Ketika Ku Kecil



            Masih termenung Gagak Seto, merenungkan dan menemukan jawaban  atas pertanyaan yang timbul di dirinya. Setiap kali dirinya menemukan jawaban atas satu pertanyaan timbul pertanyaan lagi yang akhirnya dirinya tidak bisa menemukan jawabannya. Hingga akhirnya dia mencoba untuk membuang semua pertanyaan itu dan merebahkan dirinya. Menghabiskan waktu yang tersisa untuk beristirahat dan memulihkan tenaganya.
Sang kakek tertawa terbahak-bahak, terlihat giginya yang sudah tidak utuh lagi, kemudian diapun berkata, “Memang benar apa yang barusan cucu katakan. Angger  terbiasa melakukan semuanya dengan menggunakan kedua tangan, maka begitu kehilangan salah satunya serasa begitu berat untuk melepasnya. Padahal masih ada tangan satunya yang bisa digunakan. Begitu rapuhnya diri ini, begitu kuatnya keterikatan akan apa yang sudah menjadi kebiasaan, terasa berat untuk melepaskannya. Seringkali seseorang merasakan kehilangan setelah apa yang selama ini menjadi miliknya hilang. Namun saat apa yang selama ini diakui sebagai miliknya ada, justru tidak disadari dengan benar keberadaannya. Menganggapnya sebagai sebuah kewajaran yang sudah seharusnya ada, hingga terasa aneh apabila tidak ada. Pernakah dirimu ini memperlakukan tanganmu sebagaimana mestinya, kau sadari keberadaannya . Kau rasakan bagaimana rasanya tangan ini menyentuh benda. Merasakan kenikmatan saat bergerak, menyentuh, meraba, memegang hingga saat melepaskannya. Merasakan saja, tidak lebih. Merasakan semua itu sebagai sebuah kenikmatan dan anugrahNya,” kata sang kekek
“Mungkin kalau dirimu terlahir dengan sebelah tangan, dirimu tidak akan menanyakan dimanakah tanganku yang satunya dan dirimu tentu terbiasa dengan sebelah tanganmu. Kamu menerima ketidaksempurnaan yang kau miliki, mengapa sekarang harus kaupertanyakan lagi ketidaksempurnaan itu. Menerima semua itu sebagai suatu anugrah, karena bukankah selama ini kau rasakan sakit pada sebelah tanganmu sebelum lepas dari ragamu. Bahkan mungkin kakekmu Gagak Rimang sudah mengetahui penyakit yang tertanam di tanganmu, namun dirinya tak tega karena untuk menyembuhkannya harus kau relakan tanganmu itu. Hingga akhirnya gadis bercadar lembayung secara tidak sengaja memenggal tanganmu, bukankah itu sebuah anugerah. Dirimu terbebas dari penyakit yang kalau dibiarkan saja mau sang maut akan segera menjemputmu,” lanjutnya.
“Memang begitulah seharusnya, seperti yang kakekmu ajarkan dengan ilmu kanuragan yang diajarkan sebenarnya dirinya menginginkan dirimu menjadi seorang yang kuat secara lahir dan batin. Menjadi seorang pendekar yang memenuhi tugas dan kewajibannya untuk selalu membela yang benar, membela yang lemah dan tertindas, menegakkan keadilan. Jadi mengapa harus kau pertanyakan lagi, apa yang barusan kau pertanyakan. Bukankah menolong sesame sudah menjadi tugas dan kewajibanmu? Tak usah kau hasilnya dari tindakan yang harus kau lakukan. Janganlah terjebak akan hasil yang kaudapatkan akan sebuah tindakan. Lakukan saja apa yang menjadi tugas dan kewajibanmu dengan baik. Jagalah selalu dirimu, hati dan pikiranmu dari nafsu yang kan selalu meracunimu. Jangan biarkan nafsu mempengaruhi tindakan yang kau lakukan. Bertindaklah Seto, karena Gusti akan selalu menyertaimu,” kata sang kakek, “Pergilah tidur Seto, hari sudah larut malam. Kakek masih ingin berbincang-bincang dengan binatang malam.”
Ketika diriku masih kecil diriku dikenalkan dengan segenap indra yang melekat di raga ini, begitu hafalnya diriku akan nama dan fungsinya
Namun ternyata aku belum mengenal dan memahami sepenuhnya sebagai bagian dari hidupku



Rabu, 18 Agustus 2010

Jejak Langkah Gagak Seto ~ Karena Cinta


Karena cinta diriku berada, karena cinta diriku bertindak, karena cinta diriku berkarya, dan karena CintaNya diriku kan kembali kepadaNya

Ditengah kegelapan malam, sesosok bayangan terus berlari. Terus berlari menyibak rerimbunan pohon yang dilewatinya, tidaka dipedulikannya lagi luka dan darah yang terus menetes dari sekujur tubuhnya. Semakin lama semakin lemah dia berlari, hingga akhirnya hanya bisa berjalan dengan sempoyongan. Dan akhirnya diapun terkapar, terdiam terbungkus dengan dingin kabut yang menyelimutinya. Suara binatang malampun seakan dibungkam melihat keadaan dirinya, larut dalam kesedihan dan kepiluan seorang anak manusia.

Seseorang yang sedang terluka secara lahir dan batin biasanya akan merasakan kesedihan, kedukaan, kesusahan. Hingga tanpa disadarinya diapun larut dalam kesedihan dan kedukaan yang memang sudah siap untuk membelenggu, mengurung dan menguasainya. Merasakan semua itu sebagai beban akibat penderitaanya, sebagai bagian hidupnya, dan terus larut dalam  beban yang semakin memberatkannya, seringkali berusaha menyingkirkan beban itu namun dirinya tak kuasa dan mulai menyalahkan akan keadaan yang dialaminya. Menyalahkan diri sendiri. Merasa dirinya sudah tidak berguna lagi , merasakan dirinya sebagai sampah kehidupan yang sungguh tak pantas lagi berada di dunia ini. Seolah-olah seluruh makhluk mentertawakan apa yang sekarang ini dihadapinya. Sebuah proses penyangkalan dan pembenaran sesaat akan keadaan yang dialami. Tanpa disadarinya bahwa semuanya itu merupakan sebagai bagian dari hidup, teman dan sahabat dari hidup, sebagai bunga-bunga kehidupan yang sangat indah apabila mampu dinikmati dengan penuh rasa syukur

Ketika sang surya mulai mengusap dan menyelimuti semua makhluk dengan kehangatan dan kelembutan sinarnya, terbagunlah sosok itu. Masih  terlihat rasa sakitnya, sekujur tubuhnya diperhatikan dan akhirnya terhenti di bekas luka yang sudah ditaburi ramuan . Luka yang mengharuskan dirinya untuk merelakan sebelah tangannya. 

Terdiam, tersirat kesedihan sesaat hingga akhirnya dirinya terusik dengan bunyi langkah kaki seseorang kedalam gubuk  tempat dia berada. Sesosok kakek, dengan pakaian sederhana seperti yang dikenakan orang pedesaan yang selama ini dilihatnya. Tiada keanehan dari kakek tersebut, sebuah senyum disela-sela giginya yang tidak utuh lagi, diberikannya saat matanya menatap kakek itu. Sebuah tatapan mata yang mengingatkan dirinya akan kakeknya selama ini dia tinggalkan. Kakek yang selama ini merawat dan membimbingnya sejak di masih bayi.

“Sudah bangun ngger , ayo buat berbaring atau bersandar dulu. Tidak usah kau paksakan dirimu, dan tak usah kau pikirkan yang telah terjadi. Nikmatilah gubuk kakek ini, anggaplah semuanya seperti rumah sendiri” kata sang kakek, “Sini kakek bantu bersandar di amben ini.”

“Sebentar ya ngger tak ambilkan bubur yang sudah kakek siapkan, biar ada badanmu lebih segar. “ kata sang kakek  yang kemudian pergi ke dapur. 

Gagak Seto memandang sang kakek, sambil merasakan badannya  yang masih kesakitan. Terasa nyaman, suasana yang sudah lama tidak dirasakannya lagi semenjak dia meninggakkan kakeknya Gagak Rimang. Ada persamaan di keduanya, yang membuat dirinya merasa tidak canggung lagi terhadapnya.

Tak berapa lama, sang  kakek kembali membawakan bubur dan minuman hangat.  Gagak Seto dengan lahapnya menghabiskan semua yang ada. Sang kakek memperhatikan semua itu dengan tersenyum, teringat cucunya yang sedang pergi merantau. 

“Bagaimana ngger, sudah sedikit enakan sekarang?” Tanya sang kakek.

“Sudah kek, matur nuwun kek sudah menolong saya. Cuma dimanakah saya sekarang kek, apa yang terjadi dengan diriku kek?” sahut Gagak Seto.

“Justru itu ngger, kamu itu siapa dan bagaimana dirimu bias terluka seperti itu. Kakek hanya menemukan dirimu tergeletak di pinggir hutan, makanya kubawa ke gubuk ini. Kakek bersihkan lukamu, dan kuobati sedapat yang bias kakek lakukan. Coba kamu tenangkan dulu dirimu, kamu ingat-ingat kembali apa yang telah terjadi.” Kata kakek.

Terdiam dirinya, diingatnya kembali apa yang dialaminya. Pelan-pelan semakin jelas gambaran-gambaran kejadian yang telah dilaluinya, termasuk bagaimana dirinya mengharuskan kehilangan sebelah tangannya. Tebasan pedang dari seorang wanita bercadar lembayung masih terasa.

“Saya Gagak Seto kek, hanyalah sebuah pengembara yang sedang melakukan pencarian orangtua saya di Gunung Tugel. Ditengah perjalanan saya mendengar seorang perempuan desa berteriak minta tolong. Sayapun berlari menuju asal suara itu, sungguh sebuah pemandangan yang sangat menyedihkan melihat seorang perempuan sedang menjadi permainan sekelompok orang. Dengan enaknya mereka mempermainkannya, hingga akhirnya sayapun berusaha menyelamatkannya. Memang untuk sesaat saya berhasil kek, namun ternyata mereka sungguh licik. Disaat saya sedang bertarung , sebagian orang ternyata membunuh perempuan itu. Sayapun marah, hingga akhirnya saya habisi orang-orang itu. Sebagian besar tewas, namun ada beberapa yang melarikan diri,” kata Gagak Seto .

Sang kakek, mendengarkan dengan seksama cerita yang tersebut, sambil sesekali menganggukan kepalanya.

“Tanpa sadar sayapun larut dalam nafsu amarah, tinggal penyesalan melihat mayat yang bergelimpangan. Tak ada bedanya saya dengan mereka, hanya caranya saja yang berbeda. Kemudian sayapun melanjutkan perjalanan, namun tetap saja rasa penyesalan itu muncul. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh sekelompok orang yang telah mengurung, dan merekapun langsung menyerang bersamaan. Mula-mula saya tidak mengenali, namun akhirnya sayapun mengenal bahwa ada beberapa orang yang merupakan kelompok yang telah saya hancurkan sebelumnya. Rasa marah perlahan mylai muncul, rasa tidak senang, rasa kesal saya lampiaskan di situ. Awalnya saya mulai bisa mendesak gerombolan itu, namun kemudian muncul sesosok perempuan menggunakan cadar berwarna lembayung. Dengan gesitnya dia menyerang, sungguh lincah sekali gerakannya. Mungkin kalau satu lawan satu , saya masih bias mengimbanginya. Namun karena dikeroyok bersamaan, maka perhatian saya menjadi terpecah. Terlebih saya sudah mulai terbawa nafsu amarah, sehingga kurang hati-hati dan ingin secepatnya menghancurkan mereka. Disuatu saat sayapun terlena, hingga akhirnya saya harus merelakan sebelah tangan saya ini Kek. Saya semakin membabi buta memeberikan perlawan, namun karena rasa sakit di lengan, maka dengan sangat terpaksa sayapun lari sekencang-kencangnya.” Kata Gagak Seto

“Sambil berlari, saya tumpahkan rasa kecewa, amarah, kesal, terdhadap apa saja yang menghalangi lariku. Merasa diri ini dihina, direndahkan hingga akhirnya sayapun tidak sadarkan diri. Dan setelah sadar, saya sudah berada disini Kek. Kiranya demikian cerita saya, maaf telah merepotkan kakek. Terima kasih juga atas pertolongannya, mungkin kalau tidak ada kakek diriku tidak seperti sekarang ini,” sekali lagi Gagak Seto menghaturkan hormat kepada yang kakek yang ada di hadapannya.

Sang Kakek masih saja tersenyum, sambil mengelus-elus janggutnya yang memutih. Terlihat sinar kedamaian, keteduhan yang terpancar dari wajahnya.

“Ngger cucuku, tak usah kau merasa sungkan. Semua yang kakek lakukan merupakan hal yang biasa. Bukankah hidup ini sudah sewajarnya saling tolong-menolong. Seperti juga dengan alam sekitar, akan selalu menolong asal kita sendiri mampu hidup selaras dengan alam sekitar. Semua yang kakek lakukan hanyalah sebagai wujud nyata dari karya-karya Dia yang selalu hadir, saat itu lewat raga kakek yang mulai rapuh ini Dia memberikan pertolongan kepadamu, mengobatimu hingga akhirnya sekarang kita bias berbincang-bincang. Karena CintaNya kakek ada, karena CintaNya kakek ada menolongmu dan sekarang ini bersamamu, karena CintaNya pula kakek kelak akan kembali, “ kata Sang kakek sambil tersenyum.“Sudah, istirahat lagi cucuku. Nanti malam kita lanjutkan lagi bincang-bincangnya. Anggap saja kakek ini kakekmu sendiri, sahabatku sendiri yang telah lama tidak bertemu. Kakek biasa disebut orang Lowo Ireng, maklum kakek yang terbiasa ditempat kegelapan hingga nama itupun diberikan orang. Kakek mau jalan-jalan dulu ke hutan, mengunjungi teman-teman yang pasti sudah menunggu.”

Ditatapnya kakek Lowo Ireng yang ternyata sahabat dari kakeknya, termenung dirinya merenungkan kata-kata yang barusan didengarnya.

Bagaimana mungkin diriku ini bersahabat dengan alam yang maha luas ini?
Bagaimana caranya agar diriku bisa hidup selaras dengan semesta?
Benarkah Dia selalu hadir dalam setiap hidupku, setiap karyaku?
Kalau selalu hadir kenapa diriku bisa membunuh sesamaku ?
Kenapa juga harus kurelakan tanganku ini hanya untuk menolong seorang manusia?

Kamis, 04 Maret 2010

Bapak mung sak dermo sopir le

Di bale kambang halaman sebuah rumah, seorang bapak dan istrinya sedang duduk ditemani ketiga anaknya yang sudah mulai beranjak remaja. Bersama mereka menikmati teh poci dengan tempe mendoan yang dibuat oleh sang istri. Penuh canda tawa, kebersamaan hadir di situ, sebuah potret keluarga yang mungkin jarang ditemukan setiap hari.

"Ngger ketiga anak-anakku, bapak akan sedikit bercerita. Sebuah cerita perjalanan yang dahulu menjadi bahan obrolan saat bapak berkumpul dengan teman-teman bapak sesama sopir angkutan. Barangkali bisa menjadi bekal kalian dalam menapaki perjalanan yang akan kalian lakukan" kata sang bapak kemudian diapun berhenti sejenak meminum teh poci yang diberi gula batu dan diberi perasan jeruk nipis.

"Dahulu teman-teman pernah berkeluh kesah sperti ini le, Sopir kuwi opo to? Apa yang bisa di banggakan dari seorang Sopir, Kenapa harus menjadi seorang sopir?. Masih banyak yang lainnya, keputusasan dan pembenaran sesaat muncul akan Nasib yang seolah-olah menjadi pihak yang paling dipersalahkan. Hingga waktu itu bapak hanya bisa berkata "Dahulu ketika waktu belum bisa belajar menyetir, pertama kali belajar ada pelajaran teori mengenai mobil atau motor yang akan dikendarai. Seperti apa itu kaca spion, kenapa ada kanan dan kiri, gunanya spion itu apa hingga menghitung jarak yang sebenarnya dari bayangan yang muncul di spion. Apa itu kopling, gigi, klakson pokoknya yang melekat di mobil atau motor diterangkan kegunaan atau fungsinya dan bagaimana sebaiknya digunakan. Hingga akhirnya setelah mengetahui fungsinya dan bagaimana caranya berfungsi diajarkan belajar mengendarainya. Seperti saat kita lahir, diajarkan yang mana yang disebut mata, hidung, mulut, telinga, kaki, tangan, rambut dan semuanya yang melekat di raga ini. Segenap indra yang ada di diri ini telah diajarkan letak dan fungsinya. Diajarkan juga fungsinya dan cara kerjanya semuanya itu, termasuk organ dalam yang dimiliki. Seiring dengan bertambahnya usia, pengetahuan yang dimiliki, seharusnya semakin lama semakin mengerti dan menerima raga ini sepenuhnya . Kelebihan dan kekurangan yang akan selalu melekat di diri ini. Semakin disadari betapa semuanya itu dipengaruhi dari pikiran serta proses berfikir itu sendiri."

"Tatkala menjadi sopir antar jemput anak-anak sekolah, kujalani pekerjaan itu. Kunikmati dan ternyata banyak yang kudapatkan disitu. Betapa nikmatnya memperhatikan tingkah polah , tegur sapa, canda tawa yang selalu hadir. Kepolosan, kejujuran, kebersamaan muncul diantara mereka. Terkadang memang ada yang berantem, bertikai  namun dengan cepatnya mereka memaafkan satu sama lain, kemudian bermain kembali, seolah-olah tidak ada yang terjadi di hari kemarin. Dengan tekunnya mereka belajar , saling memberi satu dengan yang lainnya. Terus mereka tumbuh bersama dengan beraneka perbedaan yang sebenarnya melekat di diri masing-masing, namun semuanya hilang dalam kebersamaan. Bersama mereka jalani perjalanan yang ada dengan penuh tawa riang "

"Takkala diriku menjadi sopir angkutan umum, kujalani pula pekerjaan itu. Kunikmati akan nikmat yang kuterima, sungguh sebuah karuniaNya yang selalu hadir setiap kali kujalani sebagian hidupku di jalanan. Dengan mengemudikan angkutan umum dengan mengangkut beraneka ragam penumpang dengan berbagai lapisan umur, adat, suku atau semuanya yang berbeda menjadikan diriku harus belajar lebih lagi. Mengamati segala perbedaan yang ada, melayani semuanya hingga akhirnya mereka bisa menikmati perjalanan yang ada. Sebuah perjalanan yang penuh dengan belokan, naik turun, terkadang harus melewati jalan berlobang sehingga harus menginjak rem. Terkadang harus kuinjak gas kuat-kuat karena kalau tidak maka kendaraan tidak akan kuat menaiki bukit yang terjal. Terkadang harus kubunyikan klakson atau kunyalakan lampu sign untuk memberi tanda disekitar agar tidak terjadi kecelakaan. Membuat semua penumpang dapat menikmati perjalanan yang ditempuhnya, bisa merasakan sungguh-sungguh nikmatnya perjalanan yang penuh liku. Begitu juga dengan diri ini yang tetap terus melangkah, terkadang harus terjatuh, terperosok, merasakan sakit dan segala yang selama ini dianggap kesusahan. Terkadang merasakan senang, bahagia, berhasil yang kalau tidak dicermati hati-hati bisa menjadi penyakit bagi diri ini. Terkadang harus memperhatikan tanda-tanda sekitar ataupun alam sekitar hingga diri ini selalu waspada terhadap segala perubahan yang muncul. Melihat semua yang ada sebagai satu kesatuan, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak larut dalam keadaan, dan selalu ingat bahwa semuanya itu sebagai bagian dari laku."

"Masih banyak yang dapat digali dari pengalaman bapak wakatu menjadi sopir mungkin lain bapak ceritakan. Sekarang bapak hanya bisa menjadi sopir raga ini hingga saatnya nanti Gusti nimbali, bersama dengan ibumu kami berdua sekarang berusaha menjadi sopir, teman seperjalanan kalian , mengantar kalian hingga menemukan apa yang seharusnya kalian cari. Menemukan kesadaran, kedamaian , kebahagian sejati dan selanjutnya berusaha melepaskan semuanya." kata sang bapak mengakhiri pembicaraannya.

Selanjutnya merekapun melanjutkan santapan berupa makanan yang sudah disiapkan oleh sang ibu.

Dedicated to my son......Dewa, Arjun and Sophie




Senin, 08 Februari 2010

Sak Dermo Kanca Wingking

Termenung Satrio dipinggiran Air Terjun Sekarlangit. Dibiarkannya butir-butir air menyelemuti dirinya, lama dirinya larut dalam suasana alam sekitar. Segala debu yang melekat di dirinya dibersihkan olehnya. Masih terasa hangat pelukan Mbok Wongso saat dirinya datang kerumah Simbok di lereng bukit Telomoyo, kehangatan seorang pengasuh yang selalu memberikan kasihnya. Terbayang senyum dibalik keriput wajahnya yang semakin termakan usia. Masih terngiang-ngiang di telinganya kata-kata simbok saat dia duduk bersamanya di lantai gubug beralaskan tikar pandan dengan minuman wedhang uwoh dan jadhah goreng buatannya.

"Le, Terkadang dalam perjalananmu menapaki hidup ini, pasti kamu merasakan kebosanan, kepenatan, merasakan beban berat harus kaupikul. Hingga akhirnya apabila tidak disadari maka semakin menambah berat dalam melangkah, membuat berhenti dan berpaling. Lari dari kenyataan itu bisa saja dilakukan, namun itu hanya menjadi pembenaran sesaat , sebuah pembiasan tanpa pernah menghilangkan sebab utama. Menyadari segala sesuatunya sebagai akibat dari diri yang terlalu memikirkan, berfikir hingga timbulnya rasa , penderitaan sebagai bagian dari hidup itu sendiri . Seperti saat kamu melakukan perjalanan jauh ke tempat Simbok, bukankah kalau dipikir teramat berat, teramat jauh dan melelahkan. Namun ternyata kamu bisa melakukan semua itu, bisa menikmati perjalanan yang harus kautempuh dimana kamu bisa menyatu dengan alam sekitar, merasakan dan menerima semuanya sebagai satu kesatuan. Ketika kamu merasa tersenyum itu menjadi beban, maka terasa berat untuk melakukan senyum yang mungkin bagi orang lain sesuatu yang mudah. Bahkan mungkin sehelai benang atau bernafaspun akan terasa berat kalau kamu pikir begitu juga. Lepaskan dirimu, bebaskan pikiran dengan menyadari dari mana asalnya semua itu."

"Ngger Satrio anakku, lihatlah pohon cemara itu. Ketika dia masih kecil, masih pendek batangnya, dia hanya bisa mengamati keadaan sekitarnya sebatas kemampuan dia memandang. Ketika dia tumbuh tinggi seperti sekarang, maka dia akan mampu memandang lebih luas lagi. Tentu saja semakin tinggi dia, semakin banyak angin besar yang siap merubuhkan dirinya. Begitu pula dengan dirimu mungkin dahulu kecil kamu tidak tahu, kemudian belajar untuk mendapat pengetahuan yang lebih. Tentu saja dengan semakin banyak belajar semakin banyak pengetahuan yang kamu dapat dan semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang semakin menunjukkan bahwa kamu menjadi tidak tahu. Kembali ke dirimu sendiri apakah kamu ingin seperti pohon cemara waktu kecil, atau akan terus tumbuh mengikuti pertanyaan-pertanyaan yang terus menunjukkan ketidaktahuanmu. Akankah dirimu terkungkung dalam cangkangmu ataukah melepaskan cangkangmu semua kembali kepada dirimu sendiri."

"Ketika dirimu mencintai sesorang, dan mencoba berpasangan dengan seseorang, seringkali kamu menginginkan pasanganmu mengerti dirimu, menginginkan dirinya seperti apa yang kamu inginkan. Keinginan untuk mengubah, membentuk orang lain seperti yang kamu inginkan menjadikan dirimu tidak dapat menerima, menikmati segenap perbedaan menjadi keindahan. Keinginan untuk meminta dari pasangan atau orang lain membuatmu melupakan keindahan untuk memberi, berbagi bagi sesama. Melupakan keindahan keterbukaan, ketelanjangan, kesetiaan, kejururan, tegur sapa yang  seharusnya terjalin indah. Kamu mungkin masih mempermasalahkan keperawanan dan kesucian pasanganmu, orang lain. Namun tidak menyadari betapa dirimu penuh debu-debu kekotoran yang mungkin lebih banyak dari yang lain.  Terkadang kamu terhadang tembok perbedaan yang begitu kuat, namun kalau kamu siap menerima perbedaan , kuatkan dirimu dan pasanganmu karena prahara siap meluluhlantakkan pondasi yang kalian bangun. Semakin kalian nikmati perbedaan yang ada akan semakin merasakan keindahan perbedaan itu sendiri. Simbok sendiri hanya sekedar konco wingking buat pakne, dimana simbok hanya menjadi teman seperjalanan, terkadang harus dibelakang terkadang ada didepan, terkadang harus digendong, terkadang harus menggendong, terkadang kami berdua harus melelanjangi diri kami masing-masing hingga segala panu-panu yang melekat di diri dan pikiran kami tidak ada lagi yang ditutup-tutupi. Terkadang kami berdua harus meleburkan diri  agar  tiada lagi aku atau dia. Berdua kami bermain, belajar, bertengkar, bercengkrama, tertawa, menangis, menyelami kehidupan hingga akhirnya dia mendahului menghadap Hyang Tunggal. Simbok tinggal menunggu kereta yang akan mengantar untuk melakukan perjalanan kembali KepadaNya."





Kamis, 28 Januari 2010

Indahkah dan bagaimana kujalani hidup ini?

Hidup adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban. Kewajiban sebagai seorang ayah atau ibu, sebagai seorang anak, sebagai seorang saudara, sebagai seorang sahabat, sebagai seorang warga negara, sebagai seorang manusia. Semua kewajiban harus dilaksanakan sebaik mungkin menjadi ayah yang baik, menjadi ibu yang baik, menjadi anak yang baik dan seterusnya. Dan untuk melaksanakan kewajiban dengan sebaiknya kita harus berusaha, berikhtiar sekuat kemampuan kita.
 
Menyerahkan diri lahir batin kepada Tuhan bukan berarti kita lalu tidak acuh, bukan berarti kepasrahan yang pasif atau penyerahan yang mati. Kita wajib berikhtiar, berusaha sekuat kemampuan kita. Namun semua usaha itu didasari kepasrahan, penyerahan kepada Tuhan dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Kepasarahan yang disertai keyakian sebualatnya bahawa Tuhan pasti akan memberi bimbingan kepada kita, dalam keadaan bagaimanapun juga.
 
Yang mendorong kita bergerak dalam kehidupan ini adalah nafsu-nafsu kita. Tanpa adanya nafsu, kita tidak mungkin hidup sebagai manusia yang demikian maju dalam keduniawian. Akan tetapi, tanpa bimbingan Tuhan, tanpa adanya Kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam diri kita, kita dapat terseret oleh nafsu-nafsu kita sendiri yang mengakibatkan kehancuran lahir batin. Jiwa kita akan tertutup dan tak tampak siniarnya seperti sinar matahari yang tertutup awan mendung. Namun, dengan Kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam diri kita, Kekuasaan yang membimbing, digerakkan oleh kepasrahan kita yang total, maka nafsu-nafsu kita tidak akan meliar dan bersimaharajalela! Hanya Tuhan yang dapat menjinakkan daya-daya rendah sehingga nafsu-nafsu itu kembali kepada fungsinya semula, yaitu menjadi peserta dan pelayan kita dalam kehidupan di dunia ini.
 
Betapa mudahnya semua itu dipikirkan dan dibicarakan, namun betapa sukarnya untuk menyerah! menyerah lahir batin, berarti penyerahan tanpa ikutnya hati akal pikiran karena kalau yang menyerah itu hati akal pikiran, pasti disitu muncul pamrih. Menyerah agar begini atau begitu, pokoknya agar menguntungkan lahir ataupun batin. Penyerahan seperti itu jelas bukan penyerahan namanya, melainkan penyuapan! penyogokan! Menyogok dengan kepasrahan untuk mendapatkan sesuatu tentu saja menyenangkan dan menguntungkan.
 
Nafsu yang dibiarkan meliar melahirkan keinginan-keinginan. Keinginan akan sesuatu yang lebih membuat apa saja yang didapatkan kehilangan keindahannnya sehingga kita tidak lagi dapat menikmati apa yang telah kita dapatkan. Ini berarti bahwa kita tidak dapat mensyukuri apa yang diberikan Tuhan kepada kita. Karena keinginan untuk mendapatkan yang lebih membuat apa yang berada di tangan tampak tidak berharga, tidak cukup dan kurang menyenangkan. Keinginan akan hal yang lebih membuat kita tidak pernah dapat merasakan kepuasan. keinginan jugalah yang menyeret kita untuk melakukan pengejaran dan seringkali terjadi, dalam pengejaran ini kita lupa diri, memntingkan pengejarannya sehingga menghalalkan segala cara. Padahal, bukan TUJUAN yang terpenting , melainkan CARA mencapai tujuan.
Berbahagialah orang tidak mengejar keinginan apapun juga, karena orang demikian itu akan selalu menerima apa yang ada dengan penuh rasa sukur dan berterima kasih kepada Tuhan. Orang demikian itu meleihat keindahan pada apa yang didapatkannya dan dapat menikmati segala macam hasil pekerjaannya.
 
Semoga semua makhluk berbahagia.

dikutip dari Pecut Sakti Bajrakirana karangan Asmaran S Kho Ping Hoo