Kamis, 02 September 2010

Jejak Langkah Gagak Seto ~ Ketika Ku Kecil



            Masih termenung Gagak Seto, merenungkan dan menemukan jawaban  atas pertanyaan yang timbul di dirinya. Setiap kali dirinya menemukan jawaban atas satu pertanyaan timbul pertanyaan lagi yang akhirnya dirinya tidak bisa menemukan jawabannya. Hingga akhirnya dia mencoba untuk membuang semua pertanyaan itu dan merebahkan dirinya. Menghabiskan waktu yang tersisa untuk beristirahat dan memulihkan tenaganya.
Sang kakek tertawa terbahak-bahak, terlihat giginya yang sudah tidak utuh lagi, kemudian diapun berkata, “Memang benar apa yang barusan cucu katakan. Angger  terbiasa melakukan semuanya dengan menggunakan kedua tangan, maka begitu kehilangan salah satunya serasa begitu berat untuk melepasnya. Padahal masih ada tangan satunya yang bisa digunakan. Begitu rapuhnya diri ini, begitu kuatnya keterikatan akan apa yang sudah menjadi kebiasaan, terasa berat untuk melepaskannya. Seringkali seseorang merasakan kehilangan setelah apa yang selama ini menjadi miliknya hilang. Namun saat apa yang selama ini diakui sebagai miliknya ada, justru tidak disadari dengan benar keberadaannya. Menganggapnya sebagai sebuah kewajaran yang sudah seharusnya ada, hingga terasa aneh apabila tidak ada. Pernakah dirimu ini memperlakukan tanganmu sebagaimana mestinya, kau sadari keberadaannya . Kau rasakan bagaimana rasanya tangan ini menyentuh benda. Merasakan kenikmatan saat bergerak, menyentuh, meraba, memegang hingga saat melepaskannya. Merasakan saja, tidak lebih. Merasakan semua itu sebagai sebuah kenikmatan dan anugrahNya,” kata sang kekek
“Mungkin kalau dirimu terlahir dengan sebelah tangan, dirimu tidak akan menanyakan dimanakah tanganku yang satunya dan dirimu tentu terbiasa dengan sebelah tanganmu. Kamu menerima ketidaksempurnaan yang kau miliki, mengapa sekarang harus kaupertanyakan lagi ketidaksempurnaan itu. Menerima semua itu sebagai suatu anugrah, karena bukankah selama ini kau rasakan sakit pada sebelah tanganmu sebelum lepas dari ragamu. Bahkan mungkin kakekmu Gagak Rimang sudah mengetahui penyakit yang tertanam di tanganmu, namun dirinya tak tega karena untuk menyembuhkannya harus kau relakan tanganmu itu. Hingga akhirnya gadis bercadar lembayung secara tidak sengaja memenggal tanganmu, bukankah itu sebuah anugerah. Dirimu terbebas dari penyakit yang kalau dibiarkan saja mau sang maut akan segera menjemputmu,” lanjutnya.
“Memang begitulah seharusnya, seperti yang kakekmu ajarkan dengan ilmu kanuragan yang diajarkan sebenarnya dirinya menginginkan dirimu menjadi seorang yang kuat secara lahir dan batin. Menjadi seorang pendekar yang memenuhi tugas dan kewajibannya untuk selalu membela yang benar, membela yang lemah dan tertindas, menegakkan keadilan. Jadi mengapa harus kau pertanyakan lagi, apa yang barusan kau pertanyakan. Bukankah menolong sesame sudah menjadi tugas dan kewajibanmu? Tak usah kau hasilnya dari tindakan yang harus kau lakukan. Janganlah terjebak akan hasil yang kaudapatkan akan sebuah tindakan. Lakukan saja apa yang menjadi tugas dan kewajibanmu dengan baik. Jagalah selalu dirimu, hati dan pikiranmu dari nafsu yang kan selalu meracunimu. Jangan biarkan nafsu mempengaruhi tindakan yang kau lakukan. Bertindaklah Seto, karena Gusti akan selalu menyertaimu,” kata sang kakek, “Pergilah tidur Seto, hari sudah larut malam. Kakek masih ingin berbincang-bincang dengan binatang malam.”
Ketika diriku masih kecil diriku dikenalkan dengan segenap indra yang melekat di raga ini, begitu hafalnya diriku akan nama dan fungsinya
Namun ternyata aku belum mengenal dan memahami sepenuhnya sebagai bagian dari hidupku