Senin, 08 Februari 2010

Sak Dermo Kanca Wingking

Termenung Satrio dipinggiran Air Terjun Sekarlangit. Dibiarkannya butir-butir air menyelemuti dirinya, lama dirinya larut dalam suasana alam sekitar. Segala debu yang melekat di dirinya dibersihkan olehnya. Masih terasa hangat pelukan Mbok Wongso saat dirinya datang kerumah Simbok di lereng bukit Telomoyo, kehangatan seorang pengasuh yang selalu memberikan kasihnya. Terbayang senyum dibalik keriput wajahnya yang semakin termakan usia. Masih terngiang-ngiang di telinganya kata-kata simbok saat dia duduk bersamanya di lantai gubug beralaskan tikar pandan dengan minuman wedhang uwoh dan jadhah goreng buatannya.

"Le, Terkadang dalam perjalananmu menapaki hidup ini, pasti kamu merasakan kebosanan, kepenatan, merasakan beban berat harus kaupikul. Hingga akhirnya apabila tidak disadari maka semakin menambah berat dalam melangkah, membuat berhenti dan berpaling. Lari dari kenyataan itu bisa saja dilakukan, namun itu hanya menjadi pembenaran sesaat , sebuah pembiasan tanpa pernah menghilangkan sebab utama. Menyadari segala sesuatunya sebagai akibat dari diri yang terlalu memikirkan, berfikir hingga timbulnya rasa , penderitaan sebagai bagian dari hidup itu sendiri . Seperti saat kamu melakukan perjalanan jauh ke tempat Simbok, bukankah kalau dipikir teramat berat, teramat jauh dan melelahkan. Namun ternyata kamu bisa melakukan semua itu, bisa menikmati perjalanan yang harus kautempuh dimana kamu bisa menyatu dengan alam sekitar, merasakan dan menerima semuanya sebagai satu kesatuan. Ketika kamu merasa tersenyum itu menjadi beban, maka terasa berat untuk melakukan senyum yang mungkin bagi orang lain sesuatu yang mudah. Bahkan mungkin sehelai benang atau bernafaspun akan terasa berat kalau kamu pikir begitu juga. Lepaskan dirimu, bebaskan pikiran dengan menyadari dari mana asalnya semua itu."

"Ngger Satrio anakku, lihatlah pohon cemara itu. Ketika dia masih kecil, masih pendek batangnya, dia hanya bisa mengamati keadaan sekitarnya sebatas kemampuan dia memandang. Ketika dia tumbuh tinggi seperti sekarang, maka dia akan mampu memandang lebih luas lagi. Tentu saja semakin tinggi dia, semakin banyak angin besar yang siap merubuhkan dirinya. Begitu pula dengan dirimu mungkin dahulu kecil kamu tidak tahu, kemudian belajar untuk mendapat pengetahuan yang lebih. Tentu saja dengan semakin banyak belajar semakin banyak pengetahuan yang kamu dapat dan semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang semakin menunjukkan bahwa kamu menjadi tidak tahu. Kembali ke dirimu sendiri apakah kamu ingin seperti pohon cemara waktu kecil, atau akan terus tumbuh mengikuti pertanyaan-pertanyaan yang terus menunjukkan ketidaktahuanmu. Akankah dirimu terkungkung dalam cangkangmu ataukah melepaskan cangkangmu semua kembali kepada dirimu sendiri."

"Ketika dirimu mencintai sesorang, dan mencoba berpasangan dengan seseorang, seringkali kamu menginginkan pasanganmu mengerti dirimu, menginginkan dirinya seperti apa yang kamu inginkan. Keinginan untuk mengubah, membentuk orang lain seperti yang kamu inginkan menjadikan dirimu tidak dapat menerima, menikmati segenap perbedaan menjadi keindahan. Keinginan untuk meminta dari pasangan atau orang lain membuatmu melupakan keindahan untuk memberi, berbagi bagi sesama. Melupakan keindahan keterbukaan, ketelanjangan, kesetiaan, kejururan, tegur sapa yang  seharusnya terjalin indah. Kamu mungkin masih mempermasalahkan keperawanan dan kesucian pasanganmu, orang lain. Namun tidak menyadari betapa dirimu penuh debu-debu kekotoran yang mungkin lebih banyak dari yang lain.  Terkadang kamu terhadang tembok perbedaan yang begitu kuat, namun kalau kamu siap menerima perbedaan , kuatkan dirimu dan pasanganmu karena prahara siap meluluhlantakkan pondasi yang kalian bangun. Semakin kalian nikmati perbedaan yang ada akan semakin merasakan keindahan perbedaan itu sendiri. Simbok sendiri hanya sekedar konco wingking buat pakne, dimana simbok hanya menjadi teman seperjalanan, terkadang harus dibelakang terkadang ada didepan, terkadang harus digendong, terkadang harus menggendong, terkadang kami berdua harus melelanjangi diri kami masing-masing hingga segala panu-panu yang melekat di diri dan pikiran kami tidak ada lagi yang ditutup-tutupi. Terkadang kami berdua harus meleburkan diri  agar  tiada lagi aku atau dia. Berdua kami bermain, belajar, bertengkar, bercengkrama, tertawa, menangis, menyelami kehidupan hingga akhirnya dia mendahului menghadap Hyang Tunggal. Simbok tinggal menunggu kereta yang akan mengantar untuk melakukan perjalanan kembali KepadaNya."